Bukti Afrika Begitu Berharga di Mata Kanu

Sepanjang karirnya, Nwankwo Kanu melihat begitu banyak pemain Afrika yang mendapat perlakuan buruk. Karenanya, Kanu bertekad mengangkat derajat dan martabat bangsa Afrika di mata dunia. Hebatnya, langkah Kanu itu tidak hanya sebatas soal sepakbola semata.

oleh Liputan6 diperbarui 16 Mei 2008, 15:40 WIB
Portsmouth's Nigerian Striker Nwankwo Kanu before their Premiership match against Wigan at Fratton Park, Portsmouth, southern England, on March 29, 2008. AFP PHOTO/GLYN KIRK

Kanu is not only about Nigeria, Kanu is big across Africa”. Itulah pernyataan gelandang Portsmouth asal Nigeria, John Utaka, yang intinya menyatakan Kanu—notabene rekan setimnya—tidak hanya milik bangsa Nigeria semata, tapi juga milik bangsa Afrika.

Tidak berlebihan jika Kanu menjadi duta Afrika di level internasional. Partisipasinya menjelajahi tiga kompetisi elite di Eropa, Eredivisie bersama Ajax Amsterdam (1993-96), Serie A Italia bersama Inter Milan (1996-99), dan Liga Premier bersama Arsenal, West Bromwich Albion, dan terakhir Pompey, membuka mata dunia terhadap talenta pemain Afrika.

Dalam wawancaranya dengan The Independent, dari pengalamannya berkecimpung di persepakbolaan Eropa, Kanu, 31 tahun—peraih penghargaan Pemain Terbaik Afrika dua kali (1996 dan 1999), peraih medali emas Olimpiade, menjuarai Liga Champions bersama Ajax (1994-95), dan dua kali bersama Arsenal meraih gelar ganda (premiership dan FA Cup) plus mengantarkan Pompey melaju ke babak final FA Cup musim ini—tahu persis begitu terpuruknya para pemain Afrika. Tanpa tedeng aling-aling, Kanu mengecam sikap para agen yang bertahun-tahun memeras para pemain dan meninggalkannya dalam kondisi yang sengsara.

Karena itu, Kanu berupaya untuk mengangkat derajat dan martabat para pemain Afrika di percaturan sepakbola dunia. Hebatnya lagi, langkah yang Kanu lakukan tidak hanya sebatas soal sepakbola semata. Tapi, juga sisi kehidupan yang lainnya. Misalnya, soal kesehatan, problema klasik yang terjadi di negara-negara miskin.

Sebagai langkah awal, Kanu mendirikan akademi sepakbola yang tersebar di sejumlah negara Afrika, mulai dari Ghana, Nigeria, Sierra Leone, Uganda, dan Somalia. Kanu sangat yakin jika saat ini bangsanya kurang mampu bersikap dan bertindak yang benar dan baik untuk memenuhi kepentingan pemain dan keluarganya.

Sebelum membangun akademi sepakbola, delapan tahun lalu, Kanu terlebih dahulu mendirikan yayasan jantung yang telah berhasil menyelamatkan ratusan anak-anak yang butuh tindak operasi. Daripada menerbangkan pasien dan keluarga mereka ke luar negeri demi menjalani tindak operasi, Kanu mendirikan lima rumah sakit yang tersebar di Nigeria, Ghana, Rwanda, Zimbabwe, dan Uganda. Butuh waktu 18 bulan untuk menyelesaikan pembangunannya.

“Sangat mungkin itu bisa direalisasikan,” kata Kanu ketika disinggung tentang rencana besarnya itu. “Banyak perusahaan yang mau terlibat dalam pembangunan rumah sakit. Dengan begitu, terbuka kesempatan pembangunan di Afrika. Mereka (perusahaan) tahu betul jika kami mampu untuk itu,” tegas Kanu.

Kembali ke soal sepakbola, Kanu mengklaim akademi yang didirikannya, The Kanu Football Foundation, bersifat gratis. Tidak butuh uang sesen pun. Siapapun bisa meminta advis atau nasihat. “Di Afrika, banyak pemain muda yang tidak tahu bagaimana caranya mengembangkan karir. Nah, akademi dapat memberi masukan (nasihat). Jadi, ketika mereka bakal mencoba menjejakkan karirnya di kompetisi besar, misalnya saja Liga Premier Inggris, kami dapat memberi masukan sebelum semuanya jadi terlambat,” ujar Kanu.

Sejumlah contoh membuktikan begitu terpuruknya para pemain (muda) Afrika yang mencoba mengadu nasib di ajang persepakbolaan Eropa. Awalnya, mereka mendapat janji semanis madu. Padahal, yang terjadi mereka ditinggalkan. Akhirnya sengsara. Hendak kembali ke rumah (Afrika), mereka merasa malu.

Selain itu, masih banyak pemain lainnya yang benar-benar mendapat kesempatan bergabung dengan klub (Eropa), namun akhirnya mendapat perlakuan yang buruk dari agen maupun klub. Georges Mojado, contohnya. Pemain asal Kamerun ini bergabung ke RAEC Mons di Belgia di mana gaji minimumnya dalam sebulan mencapai 1.075 euro (sekitar Rp 15 juta). Yang terjadi, Mojado hanya dibayar 150 euro (Rp 2,1 juta)!

Yang lainnya, Timothee Atouba yang juga berasal dari Kamerun. Sebelum semusim berlabuh di Tottenham Hotspur, Atouba bermain bersama Neuchatel Xamax, penghuni divisi sepakbola utama Swiss. Di Xamax, Atouba hanya dibayar sepertiga dari nilai gaji yang tertera dalam kontraknya. Setelah setahun kemudian, ia hanya menerima dua pertiga. Atouba tidak dapat berbuat banyak. Pasalnya, ia diancam bakal dipulangkan ke Kamerun.

“Masalah yang utama adalah setiap orang ingin menjadi pesepakbola profesional. Beberapa di antara mereka beruntung. Ada juga yang bernasib naas. Meski demikian, saya jamin, kami (yayasan) bakal terbuka bagi siapapun. Saya yakin dengan kapabilitas dan popularitas saya selama ini, mereka mau mendengarkan masukan dari kami,” ujar Kanu tanpa bermaksud membanggakan diri.

Akademi sepakbola yang Kanu didirikan bersifat joint venture dengan manajemen NVA, perusahaan yang dikendalikan Chris Nathaniel, konsultan yang mempunyai klien sejumlah pemain top di Liga Premier seperti Rio Ferdinand (Manchester United), Micah Richards (Manchester City), dan rekan Kanu di Super Eagles, Obafemi Martins (Newcastle United). Mereka (Ferdinand dkk) sangat mendukung rencana Kanu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya