Liputan6.com, Jakarta - Hari itu, ekspresi Jokowi jauh dari biasanya. Tak ada senyum apalagi candaan yang terlontar dari mulutnya. Padahal biasanya Presiden Indonesia Terpilih bernama lengkap Joko Widodo itu selalu bersikap santai saat meladeni pertanyaan para juru warta.
Namun kali ini, dengan nada tegas dan sambil menunjuk, Jokowi menjawab, "Kita ini sistemnya apa? Presidensial. Kamu tahu nggak? Sistem kita itu sistem presidensial."
Jawaban itu diucapkan Jokowi terkait adanya ancaman pemerintahannya akan diganggu. Tapi, mantan Walikota Solo itu mengatakan tak takut dengan ultimatum itu. Dia malah menantang, siapapun yang berniat menjegalnya, untuk bertarung pada pemilu 5 tahun nanti.
"(Kalau mau) nanti baru tarungnya 5 tahun lagi (Pilpres 2019). Kalau sekarang jangan ada semangat jegal-menjegal," ujar Jokowi di Balaikota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis 9 Oktober 2014.
Jokowi memang belum dilantik. Ia bersama Jusuf Kalla (JK) akan sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober mendatang. Kendati demikian, lawan politiknya sudah beramai-ramai mengepung.
Mereka, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, seolah tak mau memberikan ruang sedikit pun bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk leluasa menjalankan pemerintahannya nanti.
Hal ini terlihat pada perebutan kursi ketua DPR dan Ketua MPR awal Oktober lalu. Partai-partai politik pendukung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia
Hebat, sejak awal dikunci oleh Koalisi Merah Putih melalui UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), agar tak mendapatkan satu posisi pun di parlemen.
Terbukti dengan dikuasainya kursi pimpinan DPR oleh Koalisi Merah Putih. Begitu juga kursi ketua MPR, meski sudah mengusung calon ketua dari DPD dan mendapat tambahan dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lagi-lagi Koalisi Indonesia Hebat gagal dan harus bertekuk lutut dihadapan Koalisi Merah Putih.
Dengan kekalahan ini, PDIP yang merupakan pemenang pemilu legislatif tak meraih satu pun kursi pimpinan di legislatif. Kondisi ini sangat berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, di mana partai pendukung presiden biasanya juga berkuasa di DPR.
Hubungan antara Jokowi dan lawan politiknya semakin memanas setelah beberapa waktu lalu adik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, disebut akan menghambat pemerintahannya.
Kendati belakangan Hashim membantah telah mengatakan hal tersebut, masyarakat terlanjur meyakini dan melihat ketakharmonisan hubungan antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai legislatif dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menguasai pemerintahan. Apalagi beberapa hari terakhir sempat beredar isu penundaan pelantikan Jokowi oleh DPR.
Pengamat politik yang memimpin lembaga riset Indo Barometer, M Qodari, mengakui Indonesia saat ini memasuki era pemerintahan terbelah. Kondisi ini, ujar dia, baru terjadi di Indonesia.
Menurut Qodari keadaan ini dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang akan lebih sulit dilakukan pemerintahan Jokowi, ketimbang pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang partainya juga menguasai legislatif.
Namun, kata Qodari yang dihubungi Minggu 12 Oktober 2014, kondisi ini tak melulu akan berdampak negatif. Sebaliknya pemerintahan yang terbelah bisa menjadi rahmat di mana fungsi legislatif sebagai lembaga pengawas pemerintah menjadi lebih optimal.
Qodari juga memastikan, kondisi perpolitikan saat ini bisa diubah oleh Presiden sendiri. "Kuncinya di Jokowi," ujar Qodari. Menurut dia, ketegangan antara pemerintah dan legislatif bisa dicairkan jika Jokowi rajin menjalani komunikasi dengan elit-elit di KMP.
"Dia harus banyak-banyak berkomunikasi dan blusukan ke elit ( partai anggota KMP)," kata Qodari. Dia mengungkapkan, selama ini Jokowi lebih kuat di bawah (akar rumput), tapi lemah di atas.
Padahal setelah pilpres usai dan proses perebutan kekuasaan di beberapa lini di luar pemerintahan yang paling banyak berperan adalah elit partai. Sementara kelemahan Jokowi, "tidak disukai elit (parpol)," ujar Qodari.
Advertisement
Tak Mudah Goyang Jokowi
Tak Mudah Goyang Jokowi
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai kondisi pemerintahan yang terbelah saat ini tak perlu dikhawatirkan. Apalagi perebutan posisi di parlemen belum sampai ke tingkat komisi dan alat perlengkapan DPR.
"Jika tidak ada kebersamaan di tingkat komisi dan alat perlengkapan DPR baru kita curigai," kata Ikrar saat dihubungi Minggu 12 Oktober 2014.
Kendati Koalisi Merah Putih terlihat terus mempersempit ruang gerak Jokowi, tapi Ikrar menilai hal itu tak berdampak terhadap pemerintahan nanti. "Buat saya belum mengkhawatirkan, apalagi ada tanda-tanda positif," ujar dia.
Ikrar menunjuk pada bergabungnya PPP dalam Koalisi Indonesia Hebat, saat pemilihan Ketua MPR, dan bantahan yang disampaikan para petinggi KMP, termasuk ketua DPR terpilih Setya Novanto, terkait ancaman untuk menghambat pemerintahan Jokowi.
Hal ini, lanjut Ikrar, menunjukkan politik di Indonesia sangat cair sehingga peta politik saat ini bisa saja berubah.
Terkait kekhawatiran parlemen bisa menjegal Jokowi melalui persetujuan anggaran seperti yang dialami Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Ikrar mengungkapkan hal itu bisa diatasi Joko Widodo dengan menggunakan anggaran lama.
Adapun ancaman impeachment atau pemakzulan, menurut Ikrar hal itu sulit terjadi. Sebab menurut Pasal 7B UUD 1945, pemakzulan bisa dilakukan setelah DPR mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi, di mana hal ini hanya bisa dilakukan dengan mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. "Tidak gampang seorang presiden bisa dimakzulkan," tandas Ikrar.
Senada dengan Qodari, Ikrar mengatakan Jokowi bisa mengubah peta politik saat ini dengan membangun komunikasi dengan orang-orang yang tak sejalan dengannya.
Jokowi diminta meniru langkah SBY yang rajin melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Namun, kata Ikrar, Jokowi tak hanya bisa melakukannya secara formal tapi juga informal.
"Kalau itu (pertemuan-pertemuan) dilembagakan Jokowi, kekhawatiran itu bisa ditepis," ujar Ikrar. Pertemuan tidak hanya dengan ketua DPR atau ketua MPR, tapi juga dengan ketua MA, ketua MK dan lembaga tinggi negara lainnya.
Dalam beberapa hari menjelang pelantikannya, Jokowi memang telah menemui sejumlah petinggi DPR dan MPR. Pada Senin 10 Oktober 2014 malam, Jokowi menemui Ketua DPR Setya Novanto dari Partai Golkar, Ketua MPR Zulkifli Hasar dari PAN, dan Ketua DPD Irman Gusman di di Hotel Hermitage, Jalan Cilacap, Jakarta Pusat.
Usai bertemu selama 2 jam, Jokowi mengatakan harapannya agar semua unsur bisa bergabung dan langsung membantu kabinet pemerintahannya. Pada kesempatan tersebut, Jokowi yang saat ini masih mnejabat Gubernur DKI
Jakarta juga berjanji akan terus menjalin hubungan baik dengan parlemen, dengan cara melakukan pertemuan rutin untuk membahas masalah bangsa.
"Secara rutin kita akan bertemu minimal sebulan sekali. Agar ada masalah-masalah itu bisa diselesaikan di atas meja makan," kata dia. Pada kesempatan yang sama, Ketua DPR mengatakan akan mendukung pemerintah.
Advertisement
Tak Ada yang Mau Ekonomi RI Terpuruk
Tak Ada yang Mau Ekonomi RI Terpuruk
Meski gejolak politik sempat memanas akhir-akhir ini, namun kondisi perekonomian relatif masih stabil. Memang saat DPR dikuasai KMP, pasar investasi sempat panik. Beberapa investor bahkan langsung menarik dananya. Tapi bagi politisi PDIP Arif Budimanta, dominasi KMP di parlemen secara keseluruhan tidak akan mempengaruhi stabilitas perekonomian Tanah Air.
"Itu (dominasi KMP di parlemen) tidak masalah. Masa Koalisi Merah Putih ingin inflasi tinggi, atau rupiah di level 15 ribu per dolar AS, kan tidak begitu," terang Arif saat ditemui di Jakarta, Sabtu 11 Oktober lalu.
Menurut Arif, baik Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun KMP pasti mengharapkan infrastruktur yang bagus, pendidikan layak serta biaya kesehatan yang terjangkau agar stabilitas ekonomi terjaga dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
"Saya rasa titik temunya di situ. Cuma mungkin program-programnya yang akan sedikit berbeda. Jadi secara keseluruhan perekonomian akan baik-baik saja," tandas Arif.
Di kesempatan terpisah, pengamat politik dari Institute for Devolepment and Democracy (INDED) Arif Susanto mengatakan kondisi ekonomi yang fluktuatif belakangan ini lebih karena Indonesia belum memiliki pondasi ekonomi yang kuat.
Dia berharap pemerintahan Jokowi nanti harus memperkuat pondasi ekonomi, sehingga jika terjadi gejolak politik tidak akan berimbas ke perekonomian seperti yang terjadi di Jepang, yang kerap mengalami pergantian Perdana Menteri.
"Kalau rezim Jokowi-JK tidak settle, saya kira tidak hanya ekonomi, hukum juga akan goyah, politik akan goyah, situasi politik kemudian bermasalah. Itu karena tidak ada pondasi yang kuat," pungkas Arif.
Sementara, Head of Economic Research Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan pemerintahan Presiden Terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebenarnya tidak perlu khawatir dengan kondisi politik yang perseteruannya terlihat semakin meruncing dalam beberapa minggu terakhir karena Parlemen dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Menurut Purbaya, perseteruan tersebut diperkirakan tidak akan mengganggu jalannya perekonomian. "Kesulitan yang akan dihadapi Jokowi kemungkinan hanya pada penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," tuturnya kepada Liputan6.com, Jumat (10/10/2014).
Namun, menurut Purbaya, perdebatan tersebut tidak akan masuk ke permasalahan-permasalahan yang substantif. "Perdebatannya tidak akan dalam. Tidak ada yang mau Indonesia terpuruk," tambahnya.
Karena itu, jika terjadi gejolak di nilai tukar dan juga di bursa saham dapat dipastikan tidak akan berlangsung lama karena hanya berupa sentimen belaka.
Untuk permasalahan ekonomi, Jokowi-JK justru harus lebih takut kepada para investor. Saat ini investor akan melihat kabinet yang akan dipilih oleh Jokowi-JK. Jika kedua tokoh tersebut salah dalam menentukan orang-orangnya kemungkinan besar investor akan bereaksi.
Menteri di bidang ekonomi seharusnya profesional dan bukan wakil dari partai. "Jadi pemilihan Menteri Ekonomi atau Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) jangan sampai salah," tuturnya.
Selain itu, Jokowi-JK justru seharusnya takut dengan kondisi regional saat ini. Beberapa negara telah menunjukkan perlambatan ekonomi. Perlambatan tersebut tentu saja akan sangat berdampak kepada realisasi ekspor dan impor dalam negeri.
Rencana Bank Sentral Amerika untuk segera menaikkan suku bunga pada tahun depan juga perlu diantisipasi dengan kebijakan yang berpihak kepada para pengusaha nasional.
Jika Bank Sentral Amerika benar-benar menaikkan suku bunga, dana asing sudah pasti akan mengalir keluar. "Harus ada antisipasi secepat mungkin," tuturnya.
Antisipasi tersebut bisa dilakukan dengan memperbaiki iklim investasi dengan kepastian aturan, pemberian insentif atau lainnya. (Ein)