Kak Seto Heran Dijadikan Saksi Fakta Korban JIS

Kak Seto menilai kehadirannya dalam sidang tertutup itu untuk menjadi saksi fakta dan bukan saksi ahli dalam kasus kekerasan seksual di JI

oleh Edward Panggabean diperbarui 13 Okt 2014, 19:52 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Pemerhati anak, Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto mengaku heran dihadirkan sebagai saksi fakta, di persidangan perkara kekerasan seksual yang dilakukan 5 petugas kebersihan Jakarta International School (JIS) terhadap korban bocah A (6) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/10/2014).

"(Kesaksian) Saya ini tidak ada konteks sekali dengan para terdakwa," kata Kak Seto usai persidangan.

Kak Seto menilai kehadirannya dalam sidang tertutup itu untuk menjadi saksi fakta dan bukan saksi ahli. Sebab menurut Kak Seto sebagai saksi tidak memiliki kontekstual terhadap para pelaku dalam kasus ini. "Harusnya bukan saya yang dijadikan saksi," ucap dia.

Namun demikian dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim, Kak Seto mengaku selama menjadi psikolog hanya 3 kali mendampingi korban A, kesimpulannya korban A mengalami trauma psikologis.

"Saya melakukan upaya terapi psikologis hanya 3-4 kali pertemuan jadi belum optimal. Tapi saya simpulkan sebagai psikolog bahwa anak mengalami trauma psikologis," ungkap dia.

Terkait mengenai siapa pelakunya, Kak Seto tak mengarah kepada para terdakwa. Sebelumnya penetapan tersangka oleh penyidik polisi hanya dengan menunjuk foto dari korban A, saat pihak JIS menyerahkan 34 foto dan nama petugas kebersihan di JIS.

Kemudian, foto itu oleh ibunda korban P ditunjukkan ke korban A, untuk mencari pelaku. Namun sayang tidak ada psikolog yang mendampingi.

"Kalau anak menunjuk, Saya harus melihat ekspresi anak, karena saya tidak ada di sana (saat foto diberikan ibu korban). Saya hanya diminta melakukan terapis," katanya.

Sementara itu, pengacara para terdakwa, Patra M Zein mengapresiasi kedatangan Kak Seto. Menurut dia, ada 3 hal penting yang menjadi catatan dari kesaksian Kak Seto dalam persidangan hari ini. Di antaranya fakta mengenai penunjukan foto oleh korban untuk menetapkan status seseorang sebagai tersangka.

"Seharusnya hal itu tidak dapat dijadikan tolak ukur (penetapan tersangka dengan foto)," kata Patra.

Seharusnya, penyidik polisi sejak melakukan penyelidikan harus bisa memastikan kembali, apakah para terdakwa ini benar-benar pelaku dalam kejadian itu. "Jangan karena penunjukan foto dari korban, klien saya jadi tersangka," heran mantan tim LBH Jakarta itu.

Begitu juga kata Patra, mengenai kondisi traumatik korban yang hanya berdasarkan laporan dari orangtua korban berinisial P. "Hal ini juga tidak bisa dijadikan acuan. Secara psikologis, korban tidak akan kembali ke sekolah bila peristiwa itu benar-benar terjadi," ungkap dia.

Sebab sejak dari Desember sampai Maret korban AK tetap kembali ke sekolah menjalankan kegiatan pendidikannya di JIS.

"Kalau ada truma di mana?. Kak Seto tak dapat menjelaskan apa penyebabnya?," ungkap dia.

Karena Kak Seto tidak dapat memberi kesimpulan apa penyebab trauma korban A, maka kata Patra pihaknya akan mengajukan psikolog sebagai saksi ahli dalam kasus ini dalam persidangan selanjutnya.

Dalam sidang ini, majelis hakim mengagendakan keterangan saksi selain Kak Seto, jaksa juga menghadirkan saksi dari perusahaan outsourcing ISS yang menyediakan petugas cleaning service di JIS, yaitu Agus Widodo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya