Mencerna Revolusi Mental di Bidang Kesehatan dari Presiden Baru

Istilah revolusi mental yang disampaikan oleh Joko Widodo pada masa pemilihan presiden di awal Mei 2014 menimbulkan banyak pandangan

oleh Liputan6 diperbarui 22 Okt 2014, 07:00 WIB
(Antara Foto)

Liputan6.com, Jakarta Istilah revolusi mental yang disampaikan oleh Joko Widodo pada masa pemilihan presiden di awal Mei 2014 menimbulkan banyak pandangan berbeda dari berbagai pihak dengan latar belakang keilmuan dan pemahaman yang berbeda-beda. Padahal pandangan lugas akan revolusi mental telah tertuang dalam tulisan bapak Jokowi di harian Kompas 10 Mei 2014.

Dalam tulisan tersebut diungkapkan bahwa konsep revoluasi mental muncul dari pandangan akan keresahan yang muncul di masyarakat setelah 16 tahun reformasi.Jokowi menyampaikan keresahan tersebut dengan bahasa “kegalauan”. Kegalauan yang disimpulkan dari adanya protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil serta di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media social. Kegalauan yang timbul meskipun kondisi ekonomi dan politik jauh lebih baik di bawah pemerintahan SBY. Hal ini memang menimbulkan pertanyaan, apakah SBY belum berhasil sepenuhnya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia? Atau rakyat Indonesia yang terlalu manja sehingga perlu direvolusi mentalnya?

Jokowi memandang reformasi yang dilaksanakan hanya sebatas institusional belaka, belum menyentuh paradigma, mindset, atau social budaya dalam rangka pembangunan bangsa (national building). Perombakan jangan hanya bersifat institusional, namun lebih kepada perombakan manusianya sehingga terjadi mismanagement. Reformasi yang telah berjalan dipandang masih membuka ruang tumbuh suburnya korupsi, intoleransi, sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri. Kencenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis dipandang masih berlangsung, bahkan makin merajalela.

Dalam paragraph ke-11 tulisan tersebut, Jokowi menyampaikan “terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas”. Secara sederhana saya menafsirkan pandangan ini sebagai kritik keras terhadap kinerja KPK yang tidak bisa menekan masifnya niat dan tindakan korupsi, sekali lagi, setelah 16 tahun reformasi berjalan.

Jokowi menyampaikan pelaksanaan revolusi mental dengan menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara social budaya”. Konsep Trisakti yang ditekankan pada kedaulatan rakyat sesuai sila ke-4 Pancasila dengan sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi; bidang ekonomi yang melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri (asing) serta kebutuhan impor; membangun kepribadian social dan budaya dimana salah satunya mewujudkan akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran.

Saya mencoba untuk mencerna lebih dalam mengenai revolusi mental dengan sudut pandang kesehatan, namun sebelum itu ada baiknya kita mencoba memahami terlebih dahulu apa itu revolusi.


Mengenal revolusi



Mengenal kata “Revolusi”
Revolusi adalah bahasa kontemporer dari pengertian perubahan. Sebuah publikasi di abad ke-14, seorang astronom asal Polandia bernama Nicholas Copernicus membuat tulisan dengan judul On the Revolution of the Heavenly Spheres. Tulisan tersebut membahas teori heliosentrik tentang perputaran bumi mengelilingi matahari. Baru pada ke-17, kata revolusi digiring ke arena bahasa politik oleh seorang filsuf asal Inggris bernama John Locke. Tulisan yang berjudul Second Treatise on Civil Government telah menginspirasi masyarakat sipil untuk terus menerus memelototi tingkah penguasa. Locke menyampaikan bahwa pemerintahan harus mampu memenuhi “hak alamiah” rakyatnya, dan jika tidak mampu maka rezim tersebut layak dimakzulkan, bila perlu secara paksa alias revolusi.

Selanjutnya dikenal dalam sejarah adanya Revolusi Perancis atau Revolusi Borjuis, Revolusi Inggris, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia, Revolusi Kuba, Revolusi Iran dan lain sebagainya. Revolusi lain yang tidak terhubung kepada proses politik antara lain Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18, dimana terjadi peralihan penggunaan tenaga kerja dari tenaga hewan dan manusia digantikan oleh penggunaan mesin.

Dalam teori revolusi Karl Marx (1818-1883), diasumsikan bahwa kapitalisme akan memunculkan kesejahteran dan penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin mengecil dan penderitaan dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar kelas. Ketegangan tersebut lantas mengarah pada revolusi yang disebut “revolusi social”.

Pada masa kemerdekaan Indonesia (1945-1949), istilah “revolusi” dan “revolusi Indonesia” dipergunakan secara luas untuk menyebutkan perjuangan dan pergolakan pada masa itu. Soekarno membentangkan revolusi Indonesia mesti melalui dua tahap: revolusi nasional demokratis dan sosialis. Tahap pertama, yakni revolusi nasional demokratis, tugas pokoknya adalah menghancurkan sisa-sisa feodalisme dan imperialism. Tahap kedua, revolusi sosialis, diarahkan untuk menghilangkan segala bentuk “I’exploitation de I’homme par I’homme” dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

Di dalam Manipol 1959 ditegaskan “hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme”. Soekarno merumuskan “sosialisme Indonesia” yakni sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi di Indonesia. S.M Kartosoewirjo dalam bukunya Haluan Politik Islam (1946) juga menyebutkan revolusi yang terbagi atas revolusi nasional dan revolusi social namun dengan substansi ke-Islam-an. Revolusi social Kartosoewirjo menyebutkan “sifat kedoea daripada perdjoeangan Oemmat, jang menghendaki peroebahan masjarakat dari dalam ke dalam, di dalam negeri sendiri, oleh bangsa sendiri dan bagi kepentingan Negara kita sendiri.”

Pada tahun 1999, dunia diakrabkan dengan istilah “Revolusi Bolivarian” pada saat Venezuela dipimpin oleh presiden yang gemar mengenakan baret merah, Hugo Chavez. Dibawah kepemimpinannya, pertambangan dinasionalisasi, tanah diredistribusi, rakyat dibangunkan perumahan, anak-anak keluarga miskin bisa berkuliah, layanan kesehatan berkualitas bisa dicecap kalangan bawah serta segepok program-program program social lainnya. Fungsi representative nan elitis yang terjadi pada Demokrasi Borjuis digantikan oleh model demokrasi partisipatif, dimana massa rakyat memiliki peran yang jauh lebih besar dari sekedar coblosan.

Melihat sejarah revolusi di atas, perubahan hidup manusia itu sendiri merupakan sejarah panjang revolusi yang akan terus berlanjut hingga kehidupan itu berakhir.


Revolusi bidang kesehatan



Revolusi Mental di Bidang Kesehatan
Menyimak perjalanan panjang sejarah revolusi, pantaslah kemudian kita mencoba untuk menyandingkan pemahaman revolusi terhadap konsep revolusi mental yang disampaikan oleh Jokowi. Arti inti dari sebuah revolusi yang dimaknai sebagai perubahan cepat, mendorong untuk mengartikan revolusi mental dari alam pemikiran Jokowi sebagai perubahan cepat dari paradigm dan perilaku manusia, khususnya rakyat Indonesia. Jika revolusi mental ini masih memuat unsur sosialisme yang dikenal selama ini, maka seharusnya kita tidak perlu memilah antara mental borjuis/elit dengan mentalnya rakyat kelas di bawahnya.

Obyek revolusi mental yang dikemukakan oleh Jokowi adalah diri masing-masing yang mengaku orang Indonesia dan mereka yang menapakkan kakinya di tanah air Indonesia. Walaupun mungkin, kerusakan mental yang dimaksud oleh Jokowi adalah mereka yang menjalankan Negara berdasarkan kedudukannya masing-masing, baik itu legislative, eksekutif, yudikatif, pengusaha, professional, akademisi, dan lain sebagainya. Perubahan cepat yang diinginkan Jokowi diharapkan mampu terjadi dalam masa kepemimpinannya di Republik ini.

Konsep Trisakti yang digadang-gadang sebagai mesin utama terwujudkan revolusi metal harus benar-benar dijalankan baik oleh Jokowi sendiri maupun orang lain di luar Jokowi. Kedaulatan politik, ekonomi, dan social budaya merupakan harga mati untuk mewujudkan revolusi yang diinginkan oleh Jokowi.

Di bidang kesehatan, kedaulatan yang dicita-citakan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh karena tersimpan banyak tugas berat, yang mungkin juga disebabkan mental yang menjalani sector kesehatan di Republik ini selama ini. Kapitalisasi dunia kesehatan sudah menjadi jaring raksasa yang telah meraup sebagian besar sendi dunia kesehatan. Kebijakan kesehatan sangat mudah dipengaruhi oleh kepentingan capital, hal ini dibuktikan dengan cukup besarnya pengaruh pengusaha dalam proses pembentukan regulasi di Kementerian Kesehatan (cek interaksi KADIN di Kementerian Kesehatan RI).

Genderang AFTA tahun 2015 yang membuka ruang jasa kesehatan untuk mengalir masuk dari Negara lain di Indonesia semakin kencang ditabuh. Meskipun sebagian besar organisasi profesi kesehatan menolak dibukanya pintu tersebut, oleh sebab belum maksimalnya dukungan pemerintah terhadap kekuatan kesehatan yang dikelola putra putri Indonesia, namun kalangan elit pemerintah tak gentar terhadap masukan dari anak negeri sendiri. Mereka lebih melihat terangnya hidangan yang disajikan oleh kaum borjuis globalisasi. Mungkin juga karena mentalnya sudah terjangkiti oleh virus kejayaan kaum kapitalis global.

Pelayanan kesehatan yang bertitik berat kepada kuratif bukan kepada preventif dan promotif masih memberikan gambaran bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia bertumpu kepada kekuatan modal dalam membangun dan menyajikan fasilitas kesehatan yang bersaing layaknya hotel bintang lima. Tentu kita bisa menebak bahwa pemenangnya adalah para pemegang modal besar, dan yang pasti di antara mereka sebagian besar bukanlah tenaga kesehatan.

Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mewajibkan penyediaan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin hanya menjadi kewajiban berbayang di atas lembaran Negara. Kalau tidak ditopang adanya Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, tentu sangat sulit untuk memberi ruang besar bagi masyarakat miskin mendapatkan haknya di rumah sakit serta fasilitas kesehatan lain sebagaimana diamanahkan oleh Undang-undang Dasar 1945.


Ayat tembakau


Bukti nyata mengenai kondisi mental penyusun regulasi di Negara ini adalah peristiwa hilangnya “ayat tembakau” di undang-undang kesehatan yang hingga saat ini tidak jelas proses hukumnya. Kondisi kesehatan rakyat masih dipermainkan oleh kalangan elit oleh sebab kepentingan borjuis semata.

Menginapnya seorang mantan menteri kesehatan (seorang mantan menkes juga telah menjadi tersangka) serta beberapa pejabat kementerian kesehatan di hotel prodeo menekankan kembali perlu adanya revolusi mental di kalangan elit dunia kesehatan. Mindset untuk tetap menjadi “pemain” dalam pelaksanaan teknis kebijakan kesehatan telah mendorong beberapa elit ke pinggir jurang penanganan tindak pidana korupsi. Meskipun beberapa kasus, level “kerucu” yang dijadikan tumbal demi terselamatnya beberapa nama dikalangan elit.

Tidak menjadi naïf juga jika kondisi mental yang buruk terjadi di kalangan professional kesehatan. Moral hazard dalam pelayanan kesehatan telah menjadi diskusi rutin dalam pertemuan “kiayi-kiayi dunia kesehatan” namun masih sulit hilang layaknya kolesterol yang melekat di dinding pembuluh darah jantung seorang supir angkutan umum. Penghargaan terhadap profesi kesehatan yang tidak layak jika dibandingkan risiko yang setiap hari dihadapi ketika menangani pasien menjadi alasan terbanyak yang diungkapkan. Tapi bukannya penghargaan terhadap professional di republic ini memang demikian, tidak hanya tenaga professional di bidang kesehatan, tenaga professional lainnya pun merasakan hal yang sama sehingga tidak sedikit yang terpaksa hijrah ke negeri “om Sam” dan “tante Ozawa” untuk mendapatkan hidup yang sebenarnya.

Pelayanan kesehatan dimana faktor utamanya adalah sumber daya manusia, tidak lepas dari kondisi pendidikan kesehatan. Bangku-bangku pendidikan kesehatan yang masih terbilang paling tinggi dibandingkan bangku-bangku yang lain, serta praktik “lelang bangku” menyebabkan proses pendidikan hanya menjadi mesin besar yang menghasilkan mesin baru yang merubah sakit menjadi lembaran-lembaran rupiah bahkan dollar. Telah menjadi rahasia umum jika fakultas kedokteran adalah sapi perahan yang mengalirkan susu subsidi ke fakultas-fakultas lain agar universitas masih bisa bertengger di daftar universitas di kementerian pendidikan.

Revolusi mental di bidang kesehatan yang dicita-citakan oleh Jokowi sangatlah berat. Kalau hanya Jokowi yang men-terapi kondisi mental tersebut tentu sangat sulit dicapai hanya dalam satu periode pemerintahannya. Menteri kesehatan yang dipilih oleh Jokowi harusnya sosok yang telah memenuhi kriteria mental yang telah direvolusi, berjiwa Trisakti sehingga sanggup melakukan revolusi mental di bidang kesehatan, terkhusus kebijakan nasional bidang kesehatan. Namun jika di awal pemerintahannya Jokowi tidak memperlihatkan langkah konkrit revolusi mental di bidang kesehatan, bisa jadi Jokowi sangat sulit berjalan di satu periodenya, bahkan tidak mustahil jika Jokowi sendiri yang membakar api revolusi di hati rakyat yang mendambakan janji manis selama masa kampanye lalu.

Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang “ready for use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Namun perubahan harus dimulai dengan satu langkah yang memuat niat dan kesungguhan bukan hanya sekedar skenario untuk menjaga citra peran di panggung politik kebangsaan. Rakyat kecil memang tidak paham tentang politik, tapi rakyat kecil paham tentang keadilan dan kesejahteraan. Revolusi mental diharapkan membawa perubahan berarti setelah janji presiden diucapkan. Semoga

Mahesa Paranadipa
Wk.Sekjen PB IDI
Staf pengajar FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya