Pemerintah Bakal Amandemen Kontrak Kerja Sama Coal Bed Metana

Langkah pemerintah melakukan amandemen kontrak kerja sama gas metana batu bara adalah untuk meningkatkan produksi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 24 Okt 2014, 15:15 WIB
Buldozer mengeruk batubara untuk diproses lebih lanjut (Liputan6.com/ Panji Diksana)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana melakukan amandemen terhadap kontrak kerja sama gas metana batu bara atau Coal Bed Metana (CBM). Langkah yang dilakukan oleh pemerintah ini untuk meningkatkan CBM.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Naryanto Wagimin mengatakan, hingga saat ini produksi CBM di Indonesia masih kurang dari 1 MMSCFD. Padahal, sejak dikembangkan tahun 2008, terdapat 54 kontrak kerja sama (KKS) CBM yang telah ditandatangani.

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah, pengembangan CBM tidak dapat diperlakukan sama seperti minyak dan gas bumi karena karakteristiknya yang berbeda.

"Karena itu, pemerintah menilai perlu dilakukan perubahan dalam kontrak kerja sama yang telah ditandatangani," kata Naryanto, diseperti yang dilansir dalam situs resmi Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (24/10/2014).

Menurutnya, amandemen kontrak ini hanya berlaku bagi kontrak kerja sama CBM yang telah melaksanakan komitmen seperti melakukan pengeboran dan analisa, yaitu berupa  tidak diberlakukannya mekanisme masa eksplorasi maupun produksi, serta diberikannya kemudahan dalam melakukan eksplorasi, seperti menambah jumlah sumur.

“Produksi CBM itu paralel dengan jumlah sumur.  Semakin banyak sumurnya, produksi juga meningkat. Perlu diberikan kemudahan untuk menambah sumur. Dari jumlah 54 kontrak, 20 persen diantaranya telah melaksanakan komitmen. Cuma memang arahnya belum jelas. Ini yang akan kami dorong,” ungkap Naryanto.

Kendala lain yang terjadi di lapangan, adalah  sulitnya untuk mempertahankan konsistensi produksi gas yang telah keluar.  Pada awal pengeboran,  produksi gas CBM rata-rata cukup tinggi yaitu 0,8 MMSCFD. Namun setelah didiamkan beberapa lama, turun menjadi 0,1 MMSCFD. Penyebab terjadinya penurunan ini, masih dalam penelitian lebih lanjut.

Selain itu, karakter batu bara Indonesia setelah dewatering, ternyata menjadi hancur sehingga menyumbat pompa.

“Saat ini kami sedang mencari pompa yang sesuai sehingga tidak lagi menghambat keluarnya gas CBM,” tutup Naryanto.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika.

Gas Metana Batu Bara sama seperti gas alam konvensional, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir.

Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku.

Hingga saat ini, telah ditandatangani 54 kontrak kerja sama CBM. Cadangan CBM Indonesia diperkirakan sebesar 453 TCF.

CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective.

Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective. (Pew/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya