Kenapa Ada Tirakatan dan Mandi Keris di Malam Tahun Baru Islam

Malam satu Suro identik dengan kegiatan tirakatan. Apa artinya artinya dan kenapa begitu?

oleh Liputan6 diperbarui 25 Okt 2014, 15:39 WIB
Sejumlah siswa menggelar teatrikal sambil mengagungkan nama Allah SWT, saat malam refleksi jelang Tahun Baru Islam 1 Muharram 1431 H di SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta Ketika Tahun Baru Islam dimulai atau tahun baru hijrah (malam tanggal 1 Muharram) datang, kebanyakan orang Jawa melakukan tradisi ‘tirakatan’ diikuti dengan kegiatan doa akhir tahun dan awal tahun. Tak heran bila di banyak tempat kita temui banyak kegiatan yang terkait dengan kegiatan yang terkait dengan sembahyang dan praktik-praktik tirakat. Lantas, apa makna kegiatan ini.

Guru Besar Ilmu Tasawuf IAIN Walisongo Semarang & Direktur Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Kota Semarang Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA. menyebutkan, ”tirakatan,” berasal dari bahasa Arab: taroka, yatruku, tarakan-tirakatan (telah meninggalkan, sedang/ akan meninggalkan, tinggalan). Kata ini berubah menjadi bahasa Indonesia/Jawa menjadi ‘tirakatan’.

Pada malam Muharram atau disebut malam Suro, di berbagai tempat misalnya di kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota banyak orang melaksanakannya kegiatan dengan caranya masing-masing. Ada yang membaca Alquran, berzanji bersama-sama, manaqib (sejarah) Syekh Abdul Qadir al-Jailani, bahkan ada yang kungkum di sungai, mencuci keris, mencuci kereta Kencana dan sebagainya dengan niat dan tujuannya masing-masing.

Tirakat dalam dunia tasawuf disebut juga suluk (laku), yaitu melakukan sesuatu untuk menjernihkan hati dengan tujuan memeroleh ma’rifatullah (mengenal Allah). Caranya dengan mengurangi makan, tidur dan bicara. Dua di antara tiga pengurangan tadi, yakni makan dan tidur merupakan satu paket, sebab orang yang banyak makan biasanya banyak tidur. Oleh karena itu dalam laku tarekat biasanya kedua hal tersebut harus dihindari.

Sedang sedikit bicara pun sangat dianjurkan karena orang yang banyak bicara, akan banyak pula salah dan dosanya. Oleh karena itu shahabat Abu Bakar al-Shiddiq, pernah ngemut batu (Jawa) karena takut bicara yang berlebih-lebihan, lebih-lebih setelah mendengar sabda Nabi Muhammad saw: Qul khairan au liyashmut (bicara yang baik, kalau tidak bisa, lebih baik diam).

Dalam konteks inilah, maka orang Jawa membuat acara ‘tirakatan’, yakni meninggalkan dalam arti mengurangi, tidak sebaliknya, tirakatan tetapi justru pesta dan makan-makan. Namun itu tidak bisa disalahkan, karena sudah menjadi istilah dalam bahasa Jawa.


Visualisasi



Visualisasi
Mandi kungkum, mencuci keris dan kereta Kencana, adalah visualisasi membersihkan hati. Membersihkan hati dilambangkan dengan perbuatan seperti tadi, kadang-kadang kita hanya bisa menangkap makna lahir, tanpa dibarengi dengan menangkap makna batin. Jika demikian, kita hanya bisa memperoleh kulit luarnya saja., tanpa  bisa menangkap makna yang terdalam daripada gerakan-gerakan fisik tersebut.

Biasanya pada acara tersebut, diadakan doa akhir dan awal tahun. Pada kesempatan ini hendaknya sama-sama muhasabah (introspeksi diri), apa kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat, baik kesalahan dan dosa kepada Allah ataupun kepada sesama manusia.

"Apabila kita merasakan dosa yang kita lakukan, maka rasanya tak layak dan tak pantas kiranya kita menghuni sorga Tuhan. Namun kalau kita memerhatikan alangkah panasnya api neraka, tidak ada yang mampu menanggungnya. Jalan satu-satunya ialah memohon ampunan Tuhan, sebagaimana syair yang pernah diucapkan oleh Abu Nawas yang sangat terkenal.


Kisah Abu Nawas

Syair Abu Nawas

Setelah meninggal dunia, salah satu sahabat terdekat Abu Nawas bermimpi bertemu Abu Nawas. Dalam mimpinya abu nawas terlihat dengan wajah berseri dengan pakaian rapi dan harum.

Sahabat Abu Nawas pun menegurnya ” heh.. Abu Nawas! mau kemana engkau pergi?”
“Aku mau pergi ke surga,, ” jawab Abu Nawas.

Sahabatnya pun heran, karena pada masa hidupnya abu nawas terkenal dengan dengan sifatnya yang suka mabuk2an dan bermain wanita.
“Surga??” Tanya sahabatnya heran.

“Iya surga, ternyata Allah mengampuni semua dosa-dosaku..”

“Amalan apa yang kamu lakukan? sehingga membuat Allah bisa mengampuni semua dosa-dosamu?” Sahabat Abu Nawas mulai penasaran.

“Kamu ingin tahu? Datanglah ke rumahku, di bawah kasur yang biasa aku pakai untuk tidur, dibawahnya terdapat lembaran-lembaran syairq yang tiap malam aku baca..” Jawab Abu Nawas. Seketika itu bangunlah sahabat Abu Nawas.

Paginya sahabatnya mulai penasaran, dia mendatangi rumah abu nawas, menceritakan mimpinya semalam dan meminta ijin kepada istrinya untuk
melihat dibawah kasur Abu Nawas.

Ketika membuka terkejutlah ketika menemukan lembaran-lembaran syair abu nawas tentang tobat, istrinya pun juga tak mengetahuinya. Salah satu bunyi syair tersebut :

Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi

Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim

Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi

Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar

Semoga di Tahun Baru Islam 1436 ini , kita semua sudah melakukan pertobatan itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya