Krisis Ekonomi Dunia Kini Datang Setiap Dua tahun

Sejak 2008 krisis ekonomi dunia jadi lebih sering terjadi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Okt 2014, 13:57 WIB
Ilustrasi pertumbuhan Ekonomi (Liputan6.com/Johan Fatzry)
Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara berkembang yang mencatatkan defisit neraca transaksi berjalan sangat rentan terhadap krisis ekonomi. Apalagi frekuensi badai krisis saat ini lebih sering terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 
 
Demikian diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo saat memberi sambutan di acara Peresmian Program Pendidikan Pengawasan Makroprudensial.
 
"Krisis dunia semakin cepat datang. Dulu setiap 10 tahun atau 20 tahun, tapi sekarang dua tahun bisa dilanda krisis," papar dia di Gedung BI, Jakarta, Senin (27/10/2014). 
 
Kata Agus, sejak 2008 krisis ekonomi dunia jadi lebih sering terjadi. Saat itu krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) ikut menghantam negara-negara berkembang, lalu tidak lama kemudian disambung dengan krisis keuangan di Eropa dan lainnya. 
 
"Bahkan saat tapering off AS langsung berdampak ke Eropa dan negara-negara berkembang terkena imbas krisis," ungkap dia. 
 
Potensi krisis, lanjut dia, akan selalu menghantui negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang memiliki catatan defisit kembar (twin deficit). Negara ini, dikatakan perlu mengantisipasi dari potensi terjadinya pembalikan arus modal masuk. 
 
"Posisi utang luar negeri korporasi kita juga sudah lebih tinggi dari pemerintah. Begitu besar utang korporasinya, mereka nggak lakukan hedging atau lindung nilai," jelas dia. 
 
Agus mengatakan, Indonesia harus memperdalam penetrasi pasar keuangan. Pasalnya pasar keuangan masih dibayang-bayangi risiko besar dari inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, listrik, dan gas. 
 
"Kalau inflasi naik, jadi ancaman buat kesejahteraan rakyat, mencuri pendapatan atau daya beli masyarakat. Makanya kita harus mengendalikan inflasi, serta defisit fiskal," ujar dia. 
 
Untuk mencegah krisis ekonomi, Agus mengingatkan betapa pentingnya membangun kapabilitas penanganan krisis, membangun makroprudensial secara disiplin, selain memahami ekonomi makro Indonesia. 
 
"Sudah banyak kebijakan makroprudensial yang diapresiasi, seperti loan to value, dan sebagainya. Disiplin kita nggak cukup hanya memahami ekonomi makro tapi juga makroprudensial dan kami akan terus mengawasi kebijakan tersebut," tandas Agus. (Fik/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya