Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Hal itu dikatakan oleh Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Menurutnya, adanya kebutuhan untuk lebih independen, maka UU Bank Indonesia mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri untuk melakukan pengawasan sektor jasa keuangan, yakni OJK.
"OJK telah memiliki hampir semua ciri independen yang dimaksudkan sebagai ciri penegas suatu lembaga negara independen," kata Zaenal di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/10/2014) di depan majelis hakim MK yang diketuai Arief Hidayat.
Zainal menegaskan, kehadiran lembaga OJK sama sekali tidak ingin mengambil sebagian besar fungsi Bank Indonesia selaku bank sentral dalam memelihara kestabilan nilai rupiah.
OJK justru membantu bank sentral dalam memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan, dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian.
Dalam tugas tersebut, kata Zaenal, OJK memiliki fungsi yang sangat besar untuk membantu kebijakan secara keseluruhan. Utamanya terkait dalam menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah.
"OJK maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional," kata Zainal.
Pakar Hukum dan Ekonomi, Erman Rajagukguk menambahkan, pemisahan kewenangan untuk menjaga stabilitas moneter oleh BI dan pengawasan perbankan oleh OJK agar kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur.
Erman mengatakan, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Namun, independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak.
"Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance. Artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas," kata Erman.
Erman juga mengkhawatirkan jika MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk membubarkan OJK dan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia. Sebab hal itu justru akan mengakibatkan ketidakpastian hukum.
"Tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor keuangan, akan tetapi pengembalian tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum," katanya.
Seperti diketahui, beberapa aktivis yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Uji materi ini dilakukan sebab UU OJK dinilai secara konstitusional rujukan OJK tidak jelas dalam UUD 1945.
Pemohon menilai, pada dasarnya OJK hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang didasarkan pada adanya pengalihan wewenang dalam Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Menurut mereka, wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lain adalah tidak sah. Karena Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia tidak mengatur hal tersebut. (Oscar Ferri/Gdn)
Advertisement