Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Rachmat Gobel diminta segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44 Tahun 2014 karena justru mendorong penyelundupan timah. Aturan ini justru tidak mensyaratkan legalitas timah yang akan diekspor, membuat timah ilegal bebas ekspor.
"Permintaan kami agar Rachmat Gobel mencabut Permendag tersebut, didasarkan studi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Selama ini terjadi penyelundupan dalam jumlah luar biasa," kata Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) Sihol Manulang di Jakarta, seperti ditulis Jumat (31/10/2014).
Sihol mengatakan, Menteri Perdagangan era SBY yang mengeluarkan Permendag ini pada 24 Juli 2014, sesungguhnya sadar betul kebijakan ini ibaratnya seperti 'telor busuk',' sehingga baru diberlakukan tanggal 1 November 2014. Jadi mewariskan hal buruk bagi Pemerintahan Jokowi.
Permintaan pencabutan Permendag 44 Tahun 2014, disampaikan Bara JP secara tertulis kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Kamis (30/10/2014) kemarin, dengan tembusan kepada Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Tak hanya itu, Menko Perekonomian Sofyan Djalil juga diminta bertindak tegas.
Menurut Bara JP, Permendag 44 merupakan hasil kerja mafia, karena jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 32 Tahun 2013, dilarang mengolah mineral yang bukan dari pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan sertifikat clear and clean (cc). Sedangkan dalam Permendag 44, bahkan untuk memperoleh Izin Eksportir Terdaftar Timah Industri (IETTI) sekali pun, tidak ada syarat ada sertifikat cc.
Advertisement
Dia menilai, hal tersebut mengherankan, sebab untuk pengolahan/industri hasil tambang seperti zirconium saja, mensyaratkan dukungan bahan baku dari perusahaan yang memperoleh sertifikat cc.
''Tidak peduli soal sertifikat cc, artinya pemerintah tidak mau tahu dari mana asal timah, entah dari penambangan liar atau hasil curian, pokoknya asal membayar PPN 10 persen. boleh ekspor. Ini bisa ditafsirkan, hasil penambangan liar 'dicuci' dengan PPN 10 persen. Ironisnya, PPN 10 persen tersebut, di kemudian hari bisa 'diambil balik' melalui restitusi,'' jelas Sihol.
Jika Permendag 44/2014 diberlakukan, maka penyelundupan timah akan semakin deras dan dilancarkan oleh birokrasi. Sebab sepanjang 2004-2013, sesuai dengan hasil studi ICW, data jumlah impor timah Indonesia oleh negeri pembeli, selalu lebih besar dari data jumlah ekspor timah dari Indonesia ke negera tersebut. Artinya, selama ini penyelundupan timah memang sangat besar.
Menurut kajian Ketua KPK Abraham Samad (4 Juni 2014), kerugian illegal mining sangat dahsyat, termasuk kerugian ekspor timah ilegal, yang mayoritas dipasok dari Propinsi Bangka Belitung (Babel).
"Isi Permendag 44 bertentangan dengan 'roh' studi KPK dan ICW, maka sebaiknya segera dicabut," tandas Sihol. (Ndw)