Liputan6.com, Jakarta Hampir genap tujuh dasawarsa merdeka, bangsa ini masih dihadapkan pada sejumlah pekerjaan rumah. Salah satu yang tampaknya menyita banyak perhatian adalah yang berkaitan dengan masalah keanekaragaman baik suku, agama, ras, dan budaya. Keanekaragaman yang di satu sisi sebenarnya dapat menjadi suatu potensi yang sangat luar biasa, di sisi lain ternyata dapat menjadi ancaman yang serius bagi bangsa ini.
Adanya perbedaan adalah suatu kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari. Kita dapat menemukannya dalam banyak hal, mulai dari aspek fisik (usia, jenis kelamin, dsb), ekonomi (pendapatan), hingga aspek sosial politik (suku, partai, dsb). Oleh karenanya, menjadi hal yang wajar jika perbedaan ditanggapi dengan sikap toleran. Toleransi dapat dilakukan lewat sikap menghormati dan menghargai adanya perbedaan. Sikap tersebut jauh lebih menguntungkan untuk kepentingan bangsa ini dibandingkan bersikap sebaliknya.
Advertisement
Meskipun penting, saat ini masih juga kita temukan banyak anak bangsa ini yang tidak dapat bersikap toleran namun justru lebih mengedepankan kepentingan dan kebanggaan kelompoknya sendiri dibandingkan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Bentrokan antar kelompok suku, agama, bahkan antar kampung, antar sekolah atau antar kampus menjadi fenomena yang seakan tiada habisnya.
Diskriminasi dan pemaksaan kehendak oleh satu kelompok pada kelompok yang lain menjadi sebuah fenomena gunung es. Beberapa muncul dalam pemberitaan publik namun banyak yang lain yang tenggelam tanpa diberitakan bahkan tenggelam dari kesadaran. Sikap ini tentu tidak dapat dipandang adaptif jika diletakkan dalam cita-cita para pendiri bangsa saat lewat banyak pengorbanan mereka saat membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan.
Diajarkan sejak dini
Sikap toleran sebenarnya dapat mulai diajarkan sejak usia dini. Orangtua dan kemudian guru tahap pendidikan pra sekolah dan dasar adalah orang-orang penting yang dapat mengawalinya. Untuk dapat mengajarkan anak bersikap toleran, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
1. Memberikan model
Anak belajar salah satunya melalui mengamati dan meniru modelnya. Model adalah orang-orang yang berpengaruh di awal kehidupannya yaitu orangtua dan guru. Cara pertama yang paling efektif untuk mengajarkan sikap toleran adalah memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Cara orangtua dan para pendidik bersikap terhadap orang lain yang berbeda di sekitarnya akan mempengaruhi cara pandang anak. Sederhananya, orangtua atau guru yang cenderung bersikap intoleran akan mendorong anak untuk memilih sikap serupa.
2. Mengajak anak untuk menerima adanya perbedaan
Perbedaan adalah sebuah kenyataan hidup. Sebagai potensi, perbedaan adalah warna-warni pelangi yang membuat hidup penuh dengan aneka warna yang tidak membosankan. Namun demikian, perbedaan dapat dianggap sebagian orang sebagai gangguan. Orang-orang seperti ini melihat bahwa hanya mereka yang sama dan satu kelompok dengan merekalah yang berhak mendapatkan penerimaan, penghargaan, dan penghormatan.
Mereka yang berbeda dan di luar kelompok tidak memiliki hak yang sama. Orangtua dan guru perlu menyadarkan anak akan bahaya cara pandang seperti itu dalam konteks kehidupan bersama yang penuh dengan keanekaragaman. Mereka dapat mulai dengan menunjukkan bahwa perbedaan adalah sebuah kenyataan hidup yang wajar dan oleh karenanya tidak perlu disikapi secara negatif. Anak dapat dibantu dengan menunjukkan bahwa setiap orang unik dan mereka berkelompok dalam ciri-ciri tertentu. Agar tercipta kehidupan yang baik untuk didiami secara bersama, penghargaan terhadap martabat orang lain dari kelompok yang berbeda perlu untuk dilakukan.
Advertisement
Meningkatkan kebanggaan
3. Meningkatkan kebanggaan anak terhadap kelompok tanpa merendahkan kelompok lain
Bersikap toleran bukan berarti mengalami kekaburan identitas diri atau kelompok. Mereka yang bersikap toleran justru telah memiliki identitas yang kuat dan kebanggaan dalam kelompoknya. Hal ini bukanlah penghalang namun justru menjadi faktor pendukung untuk kemudian secara jernih melihat dan kemudian bersikap toleran terhadap orang dari kelompok lain.
Oleh karenanya, anak perlu diajak terlebih dahulu untuk melihat dan menjadi bangga akan siapa dirinya dan dalam kelompok mana mereka berada. Mereka bisa diajak untuk menghayati nilai-nilai dan bangga misalnya ketika mereka adalah orang Sunda atau orang beragama Hindu. Selanjutnya mereka diajak untuk melihat bahwa ada juga orang lain dari kelompok yang meskipun berbeda namun mereka bukanlah ancaman dan berhak juga hidup bersama dengan mereka.
4. Mengajak anak berkunjung dan mengenal kelompok lain
Salah satu penyebab umum munculnya intoleransi adalah tidak adanya kesempatan untuk mengenal dan berkomunikasi dengan kelompok lain. Untuk lebih mengembangkan sikap toleran anak, orangtua dan guru perlu mengajak anak mengunjungi dan berkenalan dengan anak dari kelompok lain. Jika perlu, bersama kelompok lain tersebut, dibuat suatu proyek bersama dalam jangka waktu tertentu yang keberhasilannya akan sangat membutuhkan kerjasama kelompok. Pengalaman bekerja dan berdinamika bersama kelompok lain akan mengikis pandangan-pandangan negatif yang selama ini mungkin sempat direkam oleh anak.
Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta