Liputan6.com, Beijing - Didaulat sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, ekonomi China justru kini tengah melambat jauh lebih cepat dari prediksi para analis. Keputusan bank sentral China untuk memangkas suku bunga acuannya akhir pekan lalu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ekonomi China bergerak jauh lebih lambat.
Mengutip laman CNBC, Minggu (23/11/2014), CFO Essex Manufacturing Peter Baum mengatakan, China memiliki terlalu banyak kapasitas manufaktur yang jumlahnya melampaui tingkat permintaan global. Pasalnya, kebutuhan manufaktur global belum benar-benar pulih sejak krisis finansial enam tahun lalu.
Advertisement
"Lihat saja sekarang, misalnya pabrik-pabrik kami yang dibuat untuk menampung 500 hingga 1.000 pekerja. Faktanya, sekarang pabrik tersebut hanya mempekerjakan 200 pekerja saja," terang Baum.
Sementara itu, upah pegawai pabrik terus meingkat karena usia kerja di China kini memiliki pendidikan yang layak. Tentu saja sulit mengajaknya untuk menempati posisi pekerja biasa di pabrik.
Para atasan perusahaan harus menyesuaikan gaji pegawai di saat produktivitas melemah. "Tentu saja itu tak mudah," pungkasnya.
Lebih dari itu semua, yen China terus menguat terhadap dolar hingga 25 persen sejak 2004. Kondisi tersebut memberikan tekanan bagi para pengusaha manufaktur untuk menaikkan harga jual.
Selain itu, tingkat utang juga dapat menjadi masalah besar mengingat banyak pemilik pabrik di China berencana menjual propertinya pada para pengembang jika bisnisnya gagal. Tapi saat ini pasar properti tengah goyah.
"Jika pasar properti anjlok, permintaan manufaktur melemah, harus ada satu pihak yang menanggung semua utang, apakah bank, atau pihak lain," tandasnya mengulas ekonomi China. (Sis/Ndw)