Saat Jokowi Menolak DPR

"Lagian baru sebulan kerja dipanggil. Panggil apa sih?" tanya Jokowi.

oleh Sugeng TrionoTaufiqurrohmanPutu Merta Surya Putra diperbarui 25 Nov 2014, 00:07 WIB
Jokowi (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menunda rapat dengan DPR. Alasannya, ada surat edaran larangan rapat dengan DPR dari Presiden Jokowi.

Sikap Rini dan Yasonna didasari Surat Edaran bernomor SE-12/Seskab/XI/2014 bertanggal 4 November 2014. Surat tersebut ditandatangani Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto.

Dalam surat itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Para Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung untuk menunda pertemuan dengan DPR sampai konflik di tengah mereka selesai.

Presiden Jokowi mengatakan, terpaksa melakukan hal itu karena Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesa Hebat (KIH) masih kisruh di parlemen.

"Nanti kalau kita datang sini keliru, datang sini keliru. Gimana? Ya, di sana (DPR) sudah rampung, sudah selesai baru silakan," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin 24 November 2014.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mempertanyakan niat DPR yang sudah memanggil menterinya. Padahal, kerja pemerintahan ini baru berjalan sekitar 1 bulan.

"Lagian baru sebulan kerja dipanggil. Panggil apa sih?" tanya Jokowi. "Kalau sudah rampung, sudah selesai. Kan masih baru, kan baru kerja sebulan. Dipanggil apanya? Saya mau tanya, apanya yang dipanggil?" sambung dia.

Menteri Rini pun menyerahkan surat kepada DPR. Surat Menteri Rini bernomor: S-724/MBU/XI/2014 perihal permohonan penundaan jadwal-jadwal rapat dengar pendapat komisi VI DPR RI dengan pejabat Eselon I KBUMN dan BUMN.

Surat itu dikeluarkan per tanggal 20 November 2014 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal DPR RI. Berikut kutipan isinya:

Sehubungan dengan adanya beberapa surat undangan dari deputi persidangan dan KSAP DPR-RI kepada deputi menteri BUMN dan BUMN untuk melaksanakan rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI dengan deputi menteri BUMN dan BUMN (contoh copy terlampir), maka dengan ini kami mengharapkan bantuannya untuk sementara waktu tidak menerbitkan undangan rapat dengar pendapat dengan pejabat eselon I KBUMN dan BUMN sampai dengan adanya arahan lebih lanjut dari pimpinan.

Kisruh di DPR bermula sejak perebutan kursi pimpinan DPR, komisi, hingga Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Belakangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau barisan pendukung Jokowi dan Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo Subianto sepakat menandatangani MoU atau Nota Kesepahaman.

Baik KIH maupun KMP sepakat damai di parlemen dan tidak ada lagi sebutan koalisi. Kesepakatan ini juga menghasilkan 5 butir. Di antaranya akan mengesahkan revisi UU MD3 pada 5 Desember.

KMP Kecam Surat Edaran Jokowi

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Dodi Reza Alex Noerdin menyesalkan dikeluarkannya surat dari Rini Soemarno. "Kami menyayangkan surat itu karena kalau alasannya menunggu konflik di DPR, kan itu sudah selesai," kata Dodi di ruang rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat 21 November 2014.

Dodi mengaku, Pimpinan Komisi VI kaget setelah membaca surat Menteri Rini tertanggal 20 November 2014 itu, karena tidak wajar seorang menteri meminta Sekjen DPR tidak menerbitkan undangan Rapat Dengar Pendapat antara pejabat di Kementerian BUMN dan BUMN dengan Komisi VI DPR.

Dia mengatakan, Komisi VI sudah membalas surat dari Menteri Rini itu yang isinya menegaskan bahwa Komisi VI ingin melaksanakan fungsi legislatif seperti mengawasi, legislasi, dan anggaran terhadap para mitra kerjanya. Menurut dia, Komisi VI DPR harus segera menjalankan fungsinya seperti pengawasan kepada BUMN-BUMN yang tiap waktu melakukan aksi korporasi.

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa juga heran dengan sikap pemerintah, yang menurutnya sama sekali tidak menghormati DPR sebagai mitra kerja untuk datang bekerjasama mengawal pemerintahan.

"Patut dicurigai bahwa sikap pemerintah dan jajarannya yang tidak bersedia untuk memenuhi panggilan DPR merupakan strategi pemerintah untuk mendelegitimasi kelembagaan DPR. Supaya muncul kesan bahwa DPR tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya," kata Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 24 November 2014.

Menurut Desmond, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR yang ada saat ini adalah legal dan konstitusional untuk menjalankan fungsi-fungsi DPR termasuk memanggil para mitra kerja untuk rapat bersama DPR. Secara politik dengan memerintahkan menunda pertemuan dengan DPR berarti bahwa pemerintah tidak memahami kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara yang harus bekerjasama dengan DPR sebagai mitra kerjanya, dan yang seharusnya tidak boleh ikut campur dalam konflik politik yang terjadi di DPR.

"Pemerintah bukannya mendorong partai-partai tergabung dalam KIH untuk menyudahi kenakalannya. Tapi sikap pemerintah justru melegitimasi pembangkangan yang dilakukan KIH tersebut," tegas dia.

Untuk itu, Desmond menegaskan, bila hal ini terus berlanjut maka pimpinan DPR dapat menggunakan kewenangannya sesuai dengan UU untuk memanggil paksa pejabat pemerintah atau menteri.

"Bisa (memanggil paksa) setelah tiga kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau bahkan dapat menyandera pejabat yang bersangkutan (pasal 73 UU MD3/2014)," tandas Desmond.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR Bambang Soesatyo pun mengusulkan agar Badan Anggaran (Banggar) DPR menunda pengesahan anggaran yang kelak diajukan pemerintah.

"Pemerintah sudah main kayu, ya kita akan minta Banggar tunda anggaran," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 24 November.

Menurut dia, selama ini legislatif telah bekerja sesuai dengan aturan yang ada dalam memanggil jajaran kementerian sebagai mitra kerja. Oleh karena itu, ia menegaskan, apabila memang pemerintah melarang jajaran menterinya untuk rapat kerja, maka DPR dapat melakukan tindakan serupa.

"Yang butuh DPR kan pemerintah, bukan kita. Sebentar lagi kita reses kok, DPR mah 'emang gue pikirin' saja," tandas Bambang Soesatyo.

DPR Dinilai Tak Punya Wibawa

Pengamat politik Ray Rangkuti menilai, penolakan menteri atas panggilan DPR itu bukan merupakan pelanggaran konstitusi. Sebab, DPR sekarang masih belum menyelesaikan konflik internal mereka.

"Jelas panggilan DPR itu bukan penggilan institusi, bukan panggilan mayoritas karena KIH dan KMP masih belum bersatu. Persoalannya jelas bukan di Rini maupun Presiden tetapi memang DPR-nya sendiri yang belum bertugas dan bekerja. Jadi jangan salahkan jika ada menteri yang tidak mau datang," ujar Ray di Jakarta, Minggu 23 November 2014.

Sementara itu, menurut pengamat Komite Pemilih Indonesia (TEPI) Jerry Sumampow, sikap menteri tersebut menegaskan bahwa DPR tidak mempunyai kewibawaan.

"DPR kita sekarang telah kehilangan kewibawaan. Jelas sikap Rini itu menegaskan DPR tidak punya wibawa. Karena perkelahian 2 kubu KMP dan KIH, karena itu DPR harus memperbaiki diri mereka dulu, baru memanggil seseorang," jelas Jerry. (Mvi/Ali)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya