Upaya Memandirikan Anak Berkebutuhan Khusus

Eka adalah salah satu hasil binaan SMAN 54 dengan pola pembelajaran menggabungkan anak berkebutuhan khusus dengan anak reguler

oleh Liputan6 diperbarui 03 Des 2014, 07:00 WIB
Salah satu acara dari pagelaran Jakarta Kids Festival 2014 lalu belasan anak penyandang autis tampak semangat memainkan angklung.

Liputan6.com, Jakarta "Saya ingin kuliah di jurusan pendidikan luar biasa untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus lainnya yang membutuhkan perhatian lebih," kata siswi berkebutuhan khusus SMA Negeri 54 Jakarta Nur Eka Evidyanti.

Ungkapan itu adalah salah satu cita-cita Eka setelah menjadi dewasa nanti, dan terucap setelah dia berhasil menjadi juara I Olimpiade Sains Nasional (OSN) Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PK-LK) 2014 tingkat pendidikan menengah bidang IPA.

Rencana cadangan Eka selain melanjutkan ke program studi pendidikan luar biasa saat kuliah nanti, dia ingin menjadi penulis atau komikus meski dirinya menyadari pendengaran dan cara bicaranya tidak sempurna. Namun, di sisi lain kecerdasannya di atas rata-rata anak pada umumnya.

Eka adalah salah satu hasil binaan SMAN 54 dengan pola pembelajaran menggabungkan anak berkebutuhan khusus dengan anak reguler, yakni dengan cara menempatkan dua hingga tiga anak di setiap kelas reguler.

Wakasek Bidang Humas SMAN 54 Jakarta Ratna Irianti mengatakan bahwa penerapan pola pembelajaran dengan menggabungkan dua unsur itu sejak tiga tahun yang lalu, yakni sejak mulai menerima anak berkebutuhan khusus.

Kebijakan itu diambil untuk membantu orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Pasalnya, untuk bersekolah khusus di sekolah luar biasa, biayanya relatif sangat mahal dan lokasinya pun relatif jauh.

Ia menjelaskan bahwa penggabungan anak berkebutuhan dengan anak reguler dengan menempatkan dua hingga tiga anak di setiap kelas adalah bagian upaya setiap anak menerima hak yang sama.

Terkait dengan kurikulum, Ratna mengaku sama, yakni semua anak mengikuti pelajaran sesuai dengan kurikulum. Akan tetapi, apabila ada anak berkebutuhan khusus tidak sanggup mengikuti, kebijakan lain seperti membebaskan dari ujian dan tetap diluluskan akan dilakukan pihak sekolah.

Namun, apabila mereka dapat mengikuti, seperti halnya Eka, tidak akan diberikan pengecualian dan tetap harus mengikuti ujian tiap semester serta ujian nasional untuk menentukan kelulusan.

Ratna mengaku tidak pernah mengalami kendala sebab sejumlah guru di sekolah itu telah mengikuti pelatihan menangani anak berkebutuhan khusus dalam beberapa kesempatan.

"Satu-satunya yang diberikan sekolah adalah bagaimana mengajarkan anak berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi seluas-luasnya dengan siapa pun," katanya.

Oleh karena itu, sekolah ini, kata Ratna, lebih memprioritaskan pada sosialisasi dan memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk berteman dengan siapa pun dan mereka tidak tertutup hanya dalam kelompok kecil saja.

Menurut Ratna, hal yang paling dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus adalah memberinya tempat yang sama, serta bisa diterima di masyarakat. Oleh karena itu, sekolahnya mendorong mereka untuk bersosialisasi dengan semua teman-teman di sekolah.

Sementara itu, apa yang dilakukan Ratna berbeda dengan sistem yang dilakukan Dinas Sosial DKI Jakarta dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Mereka lebih memasukkan ke dalam Panti Sosial Bina Grahita (PSBG) Belaian Kasih.

Dalam panti sosial tersebut, kata Kepala Seksi Pelayanan Sosial Anak Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta Vivi Kafilatul, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan pelatihan yang mengajarkan keterampilan dan pemenuhan kesehatan serta gizi.

"Di dalam panti tersebut, para anak dengan disabilitas diberikan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan dirinya," katanya

Terkait dengan anak berkebutuhan khusus dari keluarga kurang mampu, Dinas Sosial DKI Jakarta juga menyalurkan bantuan berupa bantuan bahan-bahan pokok, seperti beras, gula, susu, dan kacang hijau.


Kemandirian

Kemandirian

Untuk mewujudkan kemandirian anak berkebutuhan khusus, menurut pemerhati anak berkebutuhan khusus dari Yayasan Art Therapy Center (ATC) Widyatama, Anne Nurfarina, yakni dengan sosialisasi sebab mereka memiliki kekurangan dalam membaur dengan lingkungan sekitarnya.

Anne menyatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan bantuan sosial karena tidak mendukung kemandirian dan dikhawatirkan justru menimbulkan ketergantungan.

"Lebih baik pelatihan diperbanyak karena hal tersebut lebih dibutuhkan pada masa mendatang," kata Anne yang juga menjabat sebagai direktur ATC Widyatama, yakni yayasan yang mengembangkan "behavioristic" dan "life skill" anak berkebutuhan khusus.

Ia menekankan lebih pada sosialisasi seperti yang dilakukan SMA Negeri 54 Jakarta sebab mereka memiliki masalah "behaviour" (perilaku) sehingga membutuhkan latihan berkomunikasi dengan orang lain.

Selain itu, juga perlu ditekankan pentingnya membekali anak berkebutuhan khusus dengan keterampilan karena bidang ekonomi kreatif mengandung potensi lapangan pekerjaan yang besar.

Anne mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus di bawah rata-rata akan sulit menempatkan diri dalam dunia kerja formal karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu.

"Saran saya pengembangan kemampuan di bidang informal, salah satunya yang paling berpeluang adalah ekonomi kreatif. Hal ini mengingat ekonomi kreatif sangat cocok karena sebagian besar dari mereka memiliki sensitivitas warna atau nada lebih baik," katanya.

Ia mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus lebih peka mendengar sebab ada visual ingat sampai detail, dan dia memiliki kekuatan di garis dan warna.

"Mereka punya potensi sebenarnya, dan mereka bisa di industri ekonomi kreatif," kata Anne.

Menurut dia, seni memiliki peran yang penting untuk memahami sekaligus mengarahkan mereka meniti masa depannya. Oleh karena itu, perlu diarahan pada pelatihan yang sesuai dengan kemampuan dan cita-citanya.

Untuk itulah, Anne mengimbau masyarakat untuk memberikan peluang yang sama tanpa membedakan karena kekurangannya, serta harus dihilangkan stigma anak berkebutuhan khusus tidak dapat melakukan banyak hal.

"Jika kita ingin mengembangkan mereka, masyarakat harus mau menerima mereka dan meninggalkan stigma yang sering membatasi mereka," ujarnya.

Anne juga meminta pemerintah membuat regulasi yang mengatur tentang stigma di tengah masyarakat dan perusahaan agar membantu anak berkebutuhan khusus mendapatkan pekerjaan.

"Dengan usaha bersama dari semua pihak, masa depan mereka dapat dibangun bersama, dan mereka pun akan dapat meringkankan beban orang terdekatnya. Jika mereka tidak dibantu, banyak keluarga harus menanggung beban orang yang sebenarnya bisa produktif," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya