Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkan 4 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli pasokan gas, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Bangkalan dan Gresik, Jawa Timur. Salah satu yang ditangkap dan dijadikan tersangka adalah Ketua DPRD Bangkalan periode 2014-2019 Fuad Amin Imron.
Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RKTM) Fahmi Radi menanggapi kasus tersebut. Menurut dia, kasus itu menunjukkan bahwa mafia migas tidak hanya ada di pusat saja, tetapi juga di daerah.
"Tertangkapnya Ketua DPDR Bangkalan itu juga menunjukan mafia migas ada di daerah," ujar Fahmi di Cikini, Jakarta, Sabtu (6/12/2014).
Fahmi mengungkapkan, keberadaan mafia migas di Indonesia sudah sangat kompleks. Karena itu, perlu ada cara yang komprehensif agar bisa memberantas mafia migas di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah.
Apalagi, lanjut Fahmi, mafia migas tidak dipungkiri sudah ada puluhan tahun. Belum lagi mereka seperti belut yang sulit ditangkap karena sulit dikenali dan tanpa bentuk.
"Mafia Migas itu bisa individu bisa segerombolan orang yang memburu rente. (Mereka) memanfaatkan dari tata kelola migas dan kedekatan dengan penguasa dan pengambil keputusan. Itu ada di lini pengusaha dan pengambil keputusan dan lainnya," kata Fahmi.
Selain kasus Fuad, publik tentu masih ingat kasus yang menjerat bekas Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini beberapa waktu silam. Kasus yang menjerat Rudi yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fuad yang juga bekas Bupati Bangkalan 2 periode itu, membuktikan secara nyata bahwa mafia migas ada, meski tanpa bentuk.
"Walau tanpa bentuk, ada anomali yang menunjukkan ada mafia migas. Tertangkapnya Rudi Rubiandini itu menunjukkan ada mafia migas, lalu tertangkapnya Ketua DPRD Bangkalan," ujar Fahmi mencontohkan.
KPK sebelumnya menetapkan 4 orang sebagai tersangka hasil operasi tangkap tangan, terkait kasus dugaan suap jual beli pasokan gas alam untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Bangkalan dan Gresik, Jawa Timur.
Keempatnya, yakni Ketua DPRD Bangkalan periode 2014-2019 yang juga mantan Bupati Bangkalan 2 periode Fuad Amin Imron, ajudan Fuad bernama Rauf, Direktur PT Media Karya Sentosa Antonio Bambang Djatmiko, dan anggota TNI Angkatan Laut Kopral Satu TNI Darmono.
Fuad dan Rauf dikategorikan sebagai penerima suap. Mereka dikenakan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Sedangkan Antonio selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a, Pasal 5 ayat 1 huruf b, serta Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Sementara khusus Darmono, proses hukumnya dilimpahkan KPK ke peradilan militer, dalam hal ini Polisi Militer TNI Angkatan Laut (Pom AL).
Dalam kasus ini diduga kuat ada permainan jual beli pasokan gas yang melibatkan anak perusahaan Pertamina, yakni Pertamina Hulu Energy, yang menjadi penguasa blok eksplorasi gas West Madura Offshore.
Fuad sendiri disinyalir bakal menjadi kunci pintu masuk dalam mengungkap permainan pasokan gas Pertamina Hulu Energy di blok eksplorasi gas tersebut.
Sebab, Fuad selaku Bupati Bangkalan pada 2007 meneken kontrak kerja sama eksplorasi gas antara perusahaan BUMD, PD Sumber Daya dan perusahaan swasta, PT Media Karya Sentosa.
Kontrak kerja sama itu dilakukan untuk membangun jaringan pipa gas dari blok eksplorasi West Madura Offshore ke Bangkalan dan Gresik. Pembangunan jaringan pipa gas dilakukan guna menghidupkan PLTG di kedua kawasan itu, meski sampai saat ini belum juga direalisasikan pembangunannya.
Kerja sama pembangunan jaringan pipa gas itu sendiri ditengarai sebagai persyaratan yang tertuang dalam kerja sama jual beli pasokan gas antara Pertamina Hulu Energy dan PT Media Karya Sentosa. Di mana selanjutnya Pertamina Hulu Energy menunjuk Pertamina EP untuk mengurusi distribusi gas ke PT Media Karya Sentosa. (Rmn)
Advertisement