Kuasa Hukum: Kasus The Jakarta Post Harusnya Masuk Ranah Pers

Kuasa hukum Pemred The Jakarta Post Meidyatama, Todung Mulya Lubis menegaskan kasus tersebut seharusnya masuk ke ranah pers, bukan pidana.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 16 Des 2014, 06:12 WIB
Logo The Jakarta Post (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana penistaan/penghinaan agama. Langkah hukum ini terkait kartun soal ISIS yang dimuat media berbahasa Inggris tersebut.

Kuasa hukum Meidyatama, Todung Mulya Lubis menegaskan kasus tersebut seharusnya masuk ke ranah pers, bukan pidana. Menurut dia, tak ada unsur pelanggaran dalam tindak pidana.

"Harusnya masuk pers. Permasalahan karikatur ISIS merupakan ranah UU Pers, bukan KUHP. Sehinggap apabia memang terdapat pelanggaran, maksa sanksi yang harus diterapkan yang diatur dalam UU Pers. Bahkan sesuai UU Pers, The Jakarta Post telah melaukan koreksi terhadap pemuatan karikatur ISIS tersebut dengan mengeluarkan permohonan maaf, klarifikasi dan pencabutan karikatur ISIS," ujar Todung di kantornya, Jakarta, Senin (15/12/2014).

Dia menjelaskan, Polri dan Dewan Pers sudah menandatangi nota kepahaman tentang koordinasi dalam penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers. Isinya bila ada dugaan pelanggaran pers, maka Dewan Pers yang seharusnya menangani.

"Yang pada pokoknya Dewan Pers dan Polri telah sepakat bahwa apabila ada dugaan tindak pidana di bidang pers, maka proses penyelidikan akan dilakukan dengan berpedoman pada UU Pers. Bahkan Dewan Pers menilai hal tersebut hanya melanggar kode etik jurnalistik. Pihak kepolisian harus melihat kasus ini sebagai pelanggaran etik, bukan pidana. Dan kepolisian harus berkoordinasi dengan dewan pers," jelas Todung.

Ditambahkan dia, tidak ada unsur kesengajaan maupun permusuhan atau penodaan terhadap agama dalam kartun yang dimuat The Jakarta Post. Sebab ISIS bukan agama. Dan juga tidak ada niat jahat dari The Jakarta Post.

"Secara gramatikal juga, pasal 156 a KUHP (soal penistaan agama) hanya ditunjukan kepada kata-kata atau susunan kata-kata dan bukan gambar," pungkas dia. Karena itu, menurutnya, jika hal tersebut gagal melalui UU Pers, maka penyelesaiannya masuk ke ranah perdata biasa.

Medyatama mengaku sangat terkejut pada saat mendengar kabar dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Sebab, pihaknya merasa tidak melakukan tindak pidana, namun hanya melakukan kerja jurnalistik yang mengkritisi gerakan ISIS. Bahkan, pihaknya sudah meminta maaf kepada publik terkait pemberitaan tersebut.

"Kami merasa sangat terkejut karena faktanya kami tidak melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan kepada kami, karena sesungguhnya yg kami lakukan adalah kerja jurnalistik yang mengkritik gerakan ISIS yang kemudian menjadi organisasi yang dilarang pemerintah," ujar dia dalam pesan singkatnya, Kamis (11/12/2014) malam.

"Kami sudah mendapat informasi mengenai hal ini dan saat ini kami sedang mempelajarinya," imbuh dia.

Bahkan, kata Medyatama, pihaknya sudah menerima pendapat dari Dewan Pers yang menyatakan bahwa kasus ini sebenarnya hanya terkait kode etik jurnalistik, yang berarti tidak termasuk tindak pidana. Sehingga hal ini seharusnya merupakan ranah dewan pers.
 
"Namun, kami menghormati proses yang berjalan dan karenanya kami akan mengikuti proses yang berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," pungkas Medyatama.

Pemeriksaan terhadap Medyataman yang sebelumnya dijadwalkan pekan ini dibatalkan setelah Todung Mulya Lubis mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan kepada penyidik. Penyidik Polri kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap Medyatama pada 7 Januari 2015. (Riz)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya