RI Harus Impor Uranium Bila Ingin Punya PLTN

Kepala BATAN, Djarot Sulistio mengungkapkan, potensi uranium di Indonesia mencapai 70 ribu ton, tetapi pengembangannya terganjal peraturan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 16 Des 2014, 15:59 WIB
Fasilitas nuklir BATAN berkembang menjadi pusat penelitian mampu menghasilkan teknologi yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan Nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia harus impor uranium sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Lantaran, pengembangan bahan baku energi nuklir uranium karena terganjal undang-Undang.

Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, potensi uranium di Indonesia mencapai 70 ribu ton, namun terganjal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara.

"70 ribu ton, tapi sayangnya Undang-Undang tidak bolehkan eksploitasi, tidak menginginkan komersil," kata Djarot, di Kantor Batan, Jakarta, Selasa (16/12/2014).

Djarot mengungkapkan, Undang-undang Mineral dan Batu bara tersebut mengalihkan hal yang terkait dengan bahan baku nuklir ke Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang tenaga nuklir. Namun, poin dalam Undang-undang tersebut tidak mencantumkan eksploitasi bahan baku nuklir.

"Ada Undang-Undang Minerba mengalihkan segala hal terkait bahan nuklir ke Undang-undang Nomor 10 Tahun 97 ketenaga nukliran, padahal Undang-Undang 10 tidak ada eksploitasi ketenaga nukliran. Jadi harus diubah dulu Undang-undangnya," tutur Djarot .

Karena kondisi tersebut, jika Indonesia memiliki PLTN, harus mengimpor uranium. Akan tetapi, menurut Djarot harga uranium tidak mahal sehingga tidak menjadi beban biaya pokok produksi listrik. "Artinya impor dari luar, naik turunnya uranium tidak mempengaruhi harga listrik hanya 10 persen," pungkasnya. (Pew/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya