Liputan6.com, New York - Kekacauan finansial di Rusia membuat para investor dunia mengenang kembali kondisi serupa pada 1998. Itu merupakan tahun di mana Rusia gagal membayar utangnya dan ruble Rusia ambruk hingga menyebabkan kerugian besar bagi para investor.
Namun para ekonom menilai, terdapat banyak perbedaan antara krisis mata uang Rusia saat ini dengan apa yang terjadi pada 1998.
Advertisement
Mengutip laman CNN Money, Kamis (18/12/2014), 16 tahun lalu, krisis keuangan di Rusia ikut berdampak negatif pada negara-negara berkembang di seluruh dunia. Bahkan krisisnya menyebabkan indeks saham S&P 500 AS ambruk hingga sekitar 20 persen dalam kurun waktu Juli dan Oktober 1998.
Kondisi ekonomi dunia saat ini memang tampak mirip dengan apa yang terjadi pada 1998. Ruble Rusia ambruk di bawah tekanan penurunan harga minyak dan mendorong bank sentral Rusia untuk secara dramatis menaikkan harga minyak dunia.
Meski memiliki sejumlah kesamaan, kesulitan finansial Rusia tampaknya tak akan menghantam ekonomi negara-negara global saat ini.
Satu perbedaan kunci antara perekonomian global saat ini dan 16 tahun lalu adalah adanya sanksi ekonomi berat yang harus ditanggung Rusia akibat konflik dengan Uraina. Rezim sanksi tersebut telah mengurangi risiko penyebaran krisis finansial secara perlahan.
"Situasi tersebut tidak terjadi pada 1998. Tingkat interkoneksi antar negara berkembang tidak sama dengan apa yang terjadi di Rusia saat ini," ungkap Senior Feelow council on Foreign Relations Michael Levi.
Berbeda dengan 1998, saat ini mata uang Rusia telah tersebar ke berbagai negara dan tidak tergantung pada dolar. Artinya, jika Rusia mengalami kejutan finansial akibat jatuhnya harga minyak atau sanksi berikutnya, tidak akan terjadi penyebaran krisis ke seluruh dunia.
Berbeda dengan tanggapan tersebut, pakar strategi pasar global di JP Morgan, Nikolaos Panigirtzoglou menganggap kekacauan finansial di Rusia dapat menjadi gejala goyahnya pasar keuangan di seluruh dunia.
"Tak ada negara yang kebal, dan hingga negara-negara menemukan keseimbangan bagi harga minyak di dunia, seluruh negara akan menghadapi volatilitas yang tinggi," tandasnya. (Sis/Nrm)