Machfud Suroso Didakwa Perkaya Diri Rp 46,5 Miliar

Jumlah itu diduga berasal dari keuntungan yang tidak sah karena perusahaannya menjadi subkontraktor pengerjaan proyek.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 19 Des 2014, 02:08 WIB
Machfud Suroso menghadiri sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12/2014). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tipikor menggelar sidang kasus korupsi proyek Hambalang, Bogor, dengan terdakwa Dirut PT Dutasari Citra Laras (DCL) Machfud Suroso. Dalam persidangan, Machfud didakwa memperkaya diri Rp 46,5 miliar dari proyek tersebut.

Jumlah itu diduga berasal dari keuntungan yang tidak sah karena perusahaannya menjadi subkontraktor pengerjaan proyek.

Terdakwa Machfud didakwa bekerja sama dengan Teuku Bagus Mokhammad Noor selaku Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya yang bisa mempengaruhi Kuasa Pengguna Anggaran, panitia pengadaan dan pihak lain terkait proyek P3SON agar PT Adhi Karya menjadi pemenang dalam pelelangan.

"Sehingga perusahaan milik terdakwa menjadi sub-kontraktor untuk pekerjaan Mekanikal Elektrikal (ME)," kata Jaksa KPK Fitroh Rohcahyanto saat membaca surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/12/2014).

Di dalam dakwaan dibeberkan, sebelum pada pelaksanaan lelang proyek P3SON, Machfud dengan Munadi Herlambang bertemu dengan Manajer Pemasaran Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya (PT AK), M Arief Taufiqurrahman membahas rencana keikutsertaan PT Adhi Karya. Setelahnya, Machfud bertemu Sekretaris Kemenpora kala itu, Wafid Muharam bersama Teuku Bagus M Noor dan Arief Taufiqurrahman.

"Pertemuan itu M Arief Taufiqurrahman menyampaikan PT AK ingin berpartisipasi dalam proyek P3SON (Hambalang)," tambah jaksa.

Dan untuk memuluskan keinginan PT DCL ditunjuk sebagai sub-kontraktor oleh PT AK, Machfud menyetorkan uang pada 14 September 2009. Uang diserahkan lewat Paul Nelwan sebesar Rp 3 miliar kepada Wafid Muharam. Uang ini sebagai pemberian awal agar PT AK dapat mengerjakan proyek.

Upaya untuk mendapatkan proyek itu dilanjutkan Teuku Bagus M Noor dan M Arief Taufiqurrahman yang langsung menemui Andi Mallarangeng. Andi saat itu tengah menjabat sebagai Menpora pada Oktober 2009. Tujuannya tidak lain untuk mengenalkan PT AK dan kesiapan menggarap proyek Hambalang.

Namun dalam perjalanannya M Nazaruddin ikut menginginkan proyek Hambalang. Dan terlebih dulu mengeluarkan uang Rp 10 miliar untuk pengurusan proyek. Dana itu diberikan Nazaruddin ke Joyo Winoto sebesar Rp 3 miliar untuk penerbitan sertifikat tanah, U$D 550 ribu untuk Andi Mallarangeng melalui Choel Mallarangeng dan uang ke Komisi X DPR Rp 2 miliar.

"Atas permasalahan tersebut, terdakwa meminta bantuan Anas Urbaningrum agar Nazaruddin mundur dari proyek P3SON," beber jaksa.

Setelah Nazaruddin mundur dari proyek Hambalang, Teuku Bagus M Noor bertemu Deddy Kusdinar, Lisa Lukitawati Isa dan Muhammad Arifin di Plaza Senayan, Jakarta Pusat. Deddy meminta PT AK sebagai calon pemenang lelang untuk jasa konstruksi memberikan fee sebesar 18 persen yang kemudian disetujui Teuku Bagus M Noor.

Dalam mengikuti proses lelang pada jasa konstruksi, PT AK bekerja sama dengan PT Wijaya Karya dalam bentuk Kerja sama Operasi (KSO) Adhi Wika dengan menunjuk Teuku Bagus M Noor sebagai kuasa KSO. Akhirnya KSO Adhi Wika meneken surat perjanjian (kontrak) induk dengan nilai kontrak Rp 1,077 triliun pada 10 Desember 2010 dan kontrak anak senilai Rp 246,238 miliar.

Selanjutnya 29 Desember 2010 ditandatangani kontrak anak tahun 2011 dengan nilai 507,405 miliar. "Setelah ditandatangani, perusahaan terdakwa, PT DCL ditunjuk KSO Adhi-Wika jadi subkontrak pekerjaan Mekanikal Elektrikal dengan harga yang digelembungkan yakni Rp 295 miliar ditambah pajak sehingga nilai kontrak Rp 324,500 miliar," terang jaksa.

KSO Adhi-Wika menerima pembayaran seluruhnya Rp 453,274 miliar yang sebagiannya digunakan membayar PT DCL Rp 171,580 miliar. Machfud juga menerima pembayaran dari PT AK Rp 12,5 miliar dan PT Wika Rp 1,5 miliar sehingga total yang diterima menjadi Rp 185,580 miliar. Dari total itu, yang digunakan melaksanakan pekerjaan ME hanya sebesar Rp 89,150 miliar.

"Sedangkan yang sebesar Rp 96,430 miliar digunakan untuk pemberian ke sejumlah pihak," ucap jaksa.

Dari jumlah itu, hampir separuhnya digunakan Machfud sebanyak Rp 46,507 miliar. Uang itu untuk memperkaya diri sendiri dengan membeli sejumlah aset berupa kios dan apartemen. Kembali terungkap di dalam dakwaan, Machfud memakai uang tersebut untuk pembelian beberapa properti seperti ruko dan apartment juga untuk membayar hutang.

Penyimpangan pelaksanaan proyek Hambalang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 464,514 miliar. Machfud didakwa Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/199c sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana. (Ali)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya