Liputan6.com, New York - Isu berbau rasis kembali mengemuka di Amerika Serikat akhir-akhir ini. Konflik antara polisi berkulit putih dan warga berkulit hitam mencuat dari tiga insiden terakhir.
Dimulai dari pencekikan oleh seorang polisi kulit putih terhadap warga kulit hitam di Staten Island, Amerika Serikat pada 17 Juli 2014 lalu. Dalam video yang beredar, lengan polisi bernama Daniel Pantaleo mencengkeram leher Eric Garner, lalu memitingnya di tanah. Hal itu dilakukan ketika si aparat tengah berupaya menahan lelaki berkulit gelap karena diduga menjual rokok ilegal.
Advertisement
Garner, berusia 43 tahun dan bertubuh gemuk, diketahui memiliki penyakit asma dan berulangkali berbisik kepada Pantaleo sambil terengah-engah, "Saya tidak bisa bernapas!". Namun polisi itu tidak mengindahkannya dan terus melanjutkan bekapan. Ia baru menyadari Garner meninggal setelah tubuhnya tak bergerak lagi.
Berdasarkan hasil visum, seperti Liputan6.com kutip dari VOA, Senin (22/12/2014), petugas medis setempat mengatakan Garner tewas akibat dicekik dan adanya tekanan pada dadanya.
Namun menurut pejabat serikat polisi dan pengacara Pantaleo, polisi itu menggunakan gerakan membanting ke tanah sebagaimana yang diajarkan di departemen kepolisian dan hal itu bukan manuver yang dilarang karena Garner menolak ditahan. Mereka berdalih kesehatan buruk pria itu adalah alasan utama ia tewas.
Kemudian pada 3 Desember 2014, Dewan Juri Kota New York memutuskan untuk tidak menuntut Pantaleo. Putusan ini membuat warga setempat geram dan turun ke jalan untuk melancarkan protes.
Dengan memegang spanduk dan poster di antaranya bertuliskan "Black Lives Matter (Nyawa Warga Kulit Hitam Berharga)", "Fellow White People – Wake Up! (Sahabat Berkulit Putih - Bangunlah!)", dan "Once Again No Justice (Sekali Lagi Tidak Ada Keadilan)", warga menunjukkan kekecewaan dan kemarahan atas keputusan juri tersebut.
Sekitar 40 demonstran berbaring di tengah balairung utama Grand Central Station di Manhattan, aksi diam yang berlangsung di tengah jam sibuk kota New York. Demonstrasi serupa juga terjadi di Dupont Circle dan beberapa kawasan lain di ibukota Washington, DC.
Dalam upaya meredakan ketegangan, Jaksa Agung Eric Holder menyatakan akan membuka penyelidikan baru untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran hak-hak sipil dalam kematian Garner. Keluarga Eric Garner dan beberapa aktivis HAM sebenarnya telah dua kali meminta dilakukannya penyelidikan tersebut.
Penembakan Brown
Keputusan juri Staten Island New York tersebut hanya berselang dua minggu dari keputusan serupa yang diambil juri kota Ferguson, Missouri, yang juga memutuskan tidak menuntut polisi kulit putih Darren Wilson yang menembak remaja kulit hitam tidak bersenjata Michael Brown karena merasa terancam.
Awalnya Wilson menegur Brown yang berjalan di tengah jalan Kota Ferguson, pada 9 Agustus 2014. Namun Brown tidak mau. Adu mulut pun terjadi antara kedua orang itu. Menurut si polisi, Brown mencoba merebut pistolnya darinya, tapi gagal. Brown kabur dan Wilson berupaya mengejar.
Versi polisi, Brown berbalik arah dan melawan Wilson hingga si polisi melepaskan tembakan peringatan. Wajah Brown semakin menyeringai dan membuat Wilson kembali menarik pelatuk senjata api dan menembak warga tersebut.
Namun, menurut Johnson yang jalan bersama Brown, polisi berkulit putih itu berusaha mencengkeram dari jendela mobil patroli. Lantas, ketika Brown berusaha kabur, sang polisi keluar dari mobil. Aparat itu kemudian menembak beberapa kali meski korban sudah mengangkat tangan tanda menyerah.
Usai diprotes warga, Wilson mundur dari jabatannya. Namun pengadilan membebaskannya dari dakwaan. Sama dengan kasus Garner, keputusan juri Ferguson ketika itu juga memicu demonstrasi dan kerusuhan selama berhari-hari.
Banyak warga Afrika-Amerika, yang merasa bahwa penegakan hukum tidak berpihak dan bersikap adil pada mereka. Ayah Michael Brown, Brown Sr mengaku sangat kecewa karena penembak mati anaknya dibebaskan. "Ini adalah apa yang dikatakan orang-orang sepanjang waktu, ini adalah negara rasis," cetus Brown Sr.
Presiden Barack Obama meminta seluruh pihak untuk tenang. Ia juga menyatakan prihatin dan dukacita atas jatuhnya korban jiwa.
Dua Polisi Ditembak
Ismaaiyl Abdullah Brinsley begitu geram atas tewasnya Brown dan Garner. Ia memutuskan untuk melancarkan aksi balasan dengan melakukan penembakan terhadap dua polisi yang tengah berpatroli di New York pada Sabtu 20 Desember 2014 malam.
Sebelum melakukan aksinya, pria berusia 28 tahun itu diketahui menuliskan sebuah pesan di akun Instagram-nya dan menembak kekasihnya.
Dalam ungggahan foto yang menampilkan gambar senjata api, Brinsley menuliskan pesan mengerikan.
"Aku bakal melakukan hal yang luar biasa hari ini. Mereka ambil salah satu dari kami. Sekarang giliran kita yang mengambil dua dari mereka," tulis Brinsley, seperti dimuat Dailymail, Minggu 21 Desember 2014.
"Ini mungkin akan menjadi unggahan fotoku yang terakhir kali," imbuh dia, diselingi hashtag atau tanda pagar #ShootThePolice #RIPErivGardner (sic) #RIPMikeBrown.
Dari pesan tersebut, aparat setempat menduga kuat bahwa Brinsley ingin melancarkan aksi balas dendam atas tewasnya dua warga kulit hitam oleh aparat berkulit putih di AS beberapa waktu lalu.
Menurut keterangan resmi, setelah membunuh dua anggota New York Police Department (NYPD), pria bersenjata itu berlari ke dalam stasiun kereta bawah tanah terdekat, lalu bunuh diri.
Sebelum melakukan aksinya, seperti dimuat BBC, Brinsley diketahui menembak kekasihnya hingga terluka.
Pelukan Polisi-Warga
Di tengah panasnya situasi Negeri Paman Sam, ada polisi yang menghadapi para massa dengan cara lain. Ini menjadi sisi lain yang menunjukkan bahwa tak semua aparat bertindak kasar ke warga.
Dalam sebuah foto yang dijepret fotografer lepas, Johny Nguyen, terlihat seorang polisi memeluk seorang pemuda berkulit hitam. Polisi terlihat dengan ekspresi wajah yang memancarkan sifat mengayomi, dan si pemprotes yang mengenakan topi dan jaket kulit tampak menangis bercucuran air mata.
Awalnya, demonstran bernama Devonte Hart (12) itu memampang spanduk bertuliskan "Free Hugs" untuk mendulang dana amal. Kemudian polisi bernama Bret Barnum datang dan memeluknya.
"Air mata mengalir dari matanya dan membasahi jaket, ia menatap bingung ke depan memampang spanduk dan tak akan tahu bagaimana tanggapan aparat dari aksinya itu," kata kerabat Devonte, Sarah Hart, seperti dimuat News.com.au.
"Kemudian aparat mendekatinya, mengulurkan tangan. Suasana awal memang agak dingin, tapi kemudian mencair," imbuh dia.
Kata Sarah, polisi itu bertanya kepada Devonte, kenapa ia menangis. Pemuda itu pun menjawab bahwa dirinya sangat prihatin dengan kondisi saat ini, di mana aparat tega menembak mati warganya sendiri.
"Dan polisi itu pun memeluknya," kata Sarah. Sebagai bukti bahwa tak semua aparat bertindak kasar kepada warga.
Foto ini cepat menyebar di media sosial dan membuat terharu warga di Ferguson, dan sadar bahwa tak semua polisi brutal. Aparat lain juga tersadar untuk lebih mengayomi warga, bukan mendahulukan kekerasan saat menegakkan hukum. Diharapkan tak ada lagi tindakan yang menuai asumsi rasis. Semua warga bermimpi untuk sejajar satu sama lain, tanpa dibeda-bedakan. (Riz/Ans)