Liputan6.com, Banda Aceh - Gempa dahsyat 9,1 skala Richter yang menimbulkan gelombang tsunami memorak-porandakan Aceh hampir 10 tahun silam. Namun kenangan terhadap bencana yang menewaskan paling tidak 230 ribu jiwa dan 1,7 juta orang kehilangan tempat tinggal itu masih membekas di benak para korban selamat tsunami Aceh.
Seperti dituturkan kakak beradik Noni Delfina dan Nina Delfina, dua di antara korban selamat tsunami yang menggulung Tanah Rencong pada Minggu pagi 26 Desember 2004, kepada Oxfam, seperti Liputan6.com kutip, Senin (22/12/2014).
Nina menggambarkan suasana usai gempa mengguncang, sesaat sebelum tsunami menerjang desa mereka di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ia pun menuturkan kembali ganasnya terjangan tsunami dan perjuangan untuk menemukan sang kakak, Noni.
"Setelah gempa bumi, tetangga dan orang-orang yang melintas memandang kami dan mengatakan, 'Tidak perlu panik, gempa terjadi. Ini akan tenang kembali,' kata mereka. ...Kami memang tidak takut. Hanya saja kami tahu gelombang besar akan datang. Kami mengatakan kepada mereka untuk berlari, berlari. Tapi mereka hanya tinggal di rumah-rumah mereka dan tidak bergerak. Kemudian orang-orang menyadari dan mereka mulai berlari," tutur Nina.
Dan ketika tsunami mulai datang, Nina dan Noni meninggalkan rumah mereka. "Tapi kami dipisahkan, aku menumpang sepeda motor saat turun ke jalan. Sedangkan Nina memilih pergi dengan sepedanya," ucap Nina.
Nina sempat melihat Noni kelelahan menaiki sepedanya. "Tapi kemudian saya kehilangan dia (Noni) dan kami dipisahkan. Jalanan penuh dengan orang yang berupaya menyelamatkan diri. Kami semua menuju buki dan tanah tinggi yang aman. Kita bisa melihat gelombang datang di belakang kami. Gelombang kemudian menggulung...banyak orang di dalam air...dan terlalu banyak mayat di mana-mana."
Wanita yang kini berusia 32 tahun itu pun mengingat gelombang tsunami datang tiga kali dengan jarak waktu 15 menit. "Inilah yang membuat begitu banyak orang tidak dapat bertahan. Sementara gelombang kedua dan ketiga kembali dan penuh sampah, hanya saja tidak sekuat gelombang besar pertama yang suaranya seperti helikopter. Bunyinya sangat keras."
Advertisement
Berenang Bersama Gulungan Tsunami
Dan setelah berjuang 5 jam, Nina akhirnya bisa menyelamatkan diri. Ia terseret ke lantai dua sebuah bangunan, sehingga dapat beristirahat dan berdoa. Selanjutnya, Nina menuju bukit dengan berenang.
Nina akhirnya bertemu dengan Noni setelah dua hari. "Kami sangat lega dan bahagia. Kami beristirahat dan kemudian kami harus menemukan Mama dan Nona. Orang-orang mengatakan bahwa kita harus tinggal di sini karena aman. Tapi kami harus menemukan mereka. Kami tahu ada bukit-bukit lain dan tempat-tempat yang tinggi. Jadi kami memutuskan pergi menemukan mereka."
Namun perjuangan dan harapan kakak beradik tersebut menemukan ibunda beserta adik kandas. Dua anggota keluarga tercinta mereka itu turut menjadi korban meninggal dalam bencana dahsyat yang menerjang sebagian besar wilayah Aceh.
Kegigihan perjuangan Nina dan Noni memang mengharukan. Mereka tak kenal lelah untuk menemukan anggota keluarganya. Bahkan saat tsunami menerjang, keduanya berenang sekuat kemampuan untuk menyelamatkan diri.
"Kami dulu peselancar. Kami berdua mencintai pantai. Kami memahami air dan bisa berenang. Meskipun demikian, saya masih mengingat saat-saat mengerikan ketika berenang di tengah gelombang tsunami, berenang melalui tubuh manusia dan sampah. Berselancar di laut tidak ada itu semua, dan air laut bening."
Namun ada hikmah di balik itu semua. Nina mengakui bahwa tsunami telah membuat kehidupan keluarga mereka kini jauh lebih dekat. "Hidup ini benar-benar berharga dan penuh keajaiban. Mengapa kita ingin meninggalkan keluarga yang begitu kita sayangi. Anda tidak dapat mengganti keluarga Anda," ucap Nina.
Petuah Ayahanda
Sementara, Noni Delfina mengungkapkan kewaspadaan terhadap tsunami telah diajarkan ayahanda mereka.
"Kami diajak pergi ke pantai dengan ayah kami sebelum ia meninggal. Dia memberitahu tsunami bisa datang setelah gempa bumi besar. Kami juga telah melihat tsunami di film dan telah mengalami tinggi pasang tsunami kecil di pantai sebelumnya. Sarannya kepada kami agar aman adalah menjauhi air hingga gelombang tsunami jauh lebih kecil," tutur Noni yang kini berusia 33 tahun.
Kembali ke Desa
Kini setelah tsunami berlalu, Nina dan Noni menjalani kehidupan normal kembali bersama keluarga masing-masing. Usai bencana, selama 2 tahun, Noni sempat bekerja dengan Oxfam sebagai penyuluh kesehatan dan penerjemah. Noni saat itu bertugas di Aceh Besar, Lamno dan Sigli.
Noni kemudian tinggal di Banda Aceh bersama anaknya, hingga akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman mereka di Aceh Besar.
"Saya merasa bahwa saya seorang gadis pantai lagi. Saya akan mendirikan kafe kecil di pinggir pantai untuk menjual jus segar dan kelapa muda untuk para wisatawan. Pantai dan laut adalah bagian dari hidup saya. Saya suka ikan, berenang dan snorkeling...," ujar Noni.
Walau demikian, Noni terkadang khawatir, terutama karena gempa masih terjadi secara teratur. Hanya saja kekhawatiran Noni tak terlalu besar lantaran kini tinggal di Lamgirek, Aceh Besar, sebuah desa tradisional yang tidak rusak akibat tsunami karena terletak di bukit. Kendati fasilitas di desa tersebut tidak sebagus seperti di Lhoknga, di mana mereka memiliki fasilitas air dan jalan yang baik.
Demikian kisah Noni dan Nina, kakak beradik yang termasuk sebagian korban tsunami Aceh yang mampu bertahan hidup dan memulihkan kembali kehidupannya. Terutama setelah mendapatkan bantuan yang tepat dalam tahap awal terjadinya bencana.
Dan merujuk hasil penelitian Oxfam terungkap, kemurahan hati banyak pihak di dunia untuk menolong masyarakat yang terkena bencana tsunami Aceh pada tahun 2004 memang telah menyelamatkan banyak nyawa dan berdampak pada kemampuan masyarakat untuk kembali pulih dalam jangka panjang. (Oxfam/Suzi O Keefe/Kredit Foto: Jim Holmes/Ans)