Liputan6.com,Jakarta - Mendengar Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (Mw), Rusia datang menawarkan kerjasama Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kepada pemerintah.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil usai menggelar pertemuan dengan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y Galuzin dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tiongkok di kantornya, Senin (22/12/2014).
"Mereka (Rusia) menawarkan kerjasama PLTN, karena sebelumnya banyak negara sudah bekerjasama dalam hal ini oleh Rusia. Tapi kita bilang PLTN masih jauh," ujar dia kepada wartawan.
Menurutnya, PLTN tidak masuk dalam program prioritas Jokowi lima tahun mendatang. Listrik berkapasitas 35 ribu Mw akan dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan sumber daya alam lain yang melimpah di Indonesia.
"Pertimbangan kita lebih kepada domain di Batam, karena saat ini belum jadi prioritas. Jadi 35.000 Mw itu dari batubara, gas, geothermal, hydro, mini hydro yang tidak kontroversial," tegas Sofyan.
Sebelumnya, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Dedy S Priatna mengatakan, pihaknya belum memasukkan proyek pembangunan PLTN dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
"Kami masih menunggu keputusan Presiden apakah jadi dibangun atau tidak. Dan sampai sekarang belum ada sinyal (setuju)," ujar dia.
Sementara dalam Undang-undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, tutur Dedy, pembangunan PLTN seharusnya sudah masuk dan mulai di sistem 2015-2019.
"Pembangunan PLTN sudah terjadi walaupun baru sebatas riset yang dilakukan oleh Batan, seperti di Serpong. Hanya saja belum dipakai
konsumen," katanya.
Pelaksanaan pembangunan PLTN, tegas dia, terbentur persoalan politik sehingga terus dipertanyakan pemerintah daerah (pemda) Belitung mengingat studi telah dilaksanakan di negeri Laskar Pelangi itu.
"Itu keputusan politik. Nggak ada satupun yang berani memutuskan hal itu," ucap Dedy.(Fik/Nrm)