Liputan6.com, Jakarta Sabtu, 31 Maret 1973, jagat perfilman Indonesia geger. Hari itu berlangsung malam puncak penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 1973.
Ketika ketua dewan juri FFI 1973, Gajus Siagian didampingi Sambas, anggota dewan juri mengumumkan pemenang Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik, para undangan yang hadir gempar ketika sebuah nama disebut. Nama itu Benyamin Sueb. Ia menang Piala Citra atas perannya di film Intan Berduri.
Mungkin sulit membayangkan saat ini seniman besar seperti Bang Ben, sapaan akrabnya, bikin gempar karena mendapat Piala Citra. Tapi Anda harus ingat, di tahun 1973 Benyamin S belum melegenda. Ia baru mulai terkenal.
Maka, seperti terekam dalam buku biografi 'Kompor Meleduk Benyamin S' (Penerbit Hikmah, 2007), kemenangan Benyamin rupanya kurang diterima sebagian penonton dan penggemar film Indonesia waktu itu.
Alasan mereka, Benyamin belum cukup dikenal sebagai pemain film, tapi seorang penyanyi lagu pop dan Betawi. Namun, dewan juri bergeming atas keputusan yang sudah dibuat. Kata Gajus, Benyamin yang memerankan tokoh Jamal di Intan Berduri meraih angka tertinggi sebagai pemeran utama pria, mengalahkan Sophan Sophiaan, saingannya yang main di film Perkawinan.
Advertisement
Kata Goenawan Mohamad yang tahun itu juga menjadi anggota juri FFI, "Persoalannya sekarang terpulang kepada si pemenang sendiri untuk membuktikan dan tetap bisa bermain baik dalam film-filmnya apa pun."
Benyamin sendiri menanggapi begini, "Memang surprise saya bisa menang, tapi itu keputusan juri. Dulu, ketika mula-mula saya menyanyi lagu-lagu Betawi, banyak yang tak suka. Lagu-lagu saya dianggap kampungan. Tapi sekarang?"
Hal itu dikatakannya tahun 1973. Sekarang akhir 2014, Benyamin S adalah legenda. Lagu-lagunya masih sering terdengar di radio. Tempo hari ada pelawak yang seolah menghinanya. Warga Betawi murka. Stasiun TV penayang didemo. Acara TV yang menayangkan adegan yang dianggap menghina itu dihentikan penayangannya. Demikian besar nama Bang Ben kini, hingga tindak penghinaan padanya bakal mendapat sanksi sosial.
Nama Benyamin S kerap disebut bila mencari contoh fenomena "muka kampung rezeki kota". Buku biografi resminya, yang diterbitkan Yayasan H. Benyamin Sueb. Tahun 2005, diberi judul 'Benyamin S, Muka Kampung Rezeki Kota'.
Benyamin S. memang lahir di 'kampung', tepatnya pada 5 Maret 1939 di Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ayah Benyamin, Sukirman asli Purwerojo, Jawa Tengah.
Saat umur 2 tahun ayahnya meninggal. Ben lantas tumbuh di lingkungan Betawi diasuh ibunya, Siti Aisyah yang merupakan putri tokoh Betawi Rofiun alias Jiung atau Haji Ung.
Tumbuh dari lingkungan kampung Betawi dengan wajah tak setampan bintang film atau penyanyi era 1970-an lainnya, toh Benyamin S. bisa membuktikan kiprahnya di industri hiburan. Hingga tutup usia di umur 56 tahun pada 1956, Benyamin telah menorehkan prestasi yang sulit ditandingi di jagat budaya pop kita. Ia bukan hanya penyanyi lagu-lgu pop Betawi atau bintang film laris yang pernah meraih Piala Citra, tapi juga bintang sinetron sukses dan pemilik stasiun radio.
Selanjutnya: Tak Tampan Tapi Terkenal...
Tak Tampan Tapi Terkenal
Tak Tampan Tapi Terkenal
Selain Benyamin S, dari tanah Betawi juga lahir Mandra. Bersama Benyamin di sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Mandra meroket menjadi bintang. Ia kemudian juga punya sinetron sendiri, Mandragade jadi bintang utama.
Lalu, ada juga Tukul Arwana. Nama aslinya Tukul Riyanto. Ia merantau ke Jakarta dari Jawa Tengah tahun 1992. Ia sudah lelah jadi supir angkutan umum dan kerja serabutan. Cita-citanya jadi pelawak. Modalnya, wajah dan polah lucu.
Tukul sempat menjdai bintang video klip Joshua, “Diobok-obok” tahun 1997. Ia juga sempat jadi penyiar radio humor Suara Kejayaan (SK). Ia juga sempat bergabung dengan Srimulat. Puncak popularitas diraihnya saat menjadi pembawa acara talk show Empat Mata di pertengahan 2000-an.
Waktu itu, Empat Mata seolah ingin mendobrak pakem talk show. Sebuah talk show tak harus dibawakan presenter ganteng dan berwawasan luas, pelawak berwajah pas-pasan, dengan bahasa Inggris asal jadi dan terkadang mata keranjang bisa bikin sebuah talk show diminati penonton. Formula itu ternyata sukses.
Sejak pertama tayang dengan nama Empat Mata tahun 2005, talk show yang dipandu Tukul hingga kini masih eksis meski pemilik TV berganti (dari TV 7 milik Kompas Gramedia jadi Trans 7 milik kelompok Trans Corp.); dan programnya berganti nama gara-gara melanggar aturan KPI (berganti jadi Bukan Empat Mata sejak 2009).
Nama lain yang juga layak disebut adalah Sule. Nama aslinya Entis Sutisna. Ia membangun karier lawak dari bawah. Jalannya terbuka saat menjadi jawara kontes bakat lawak Audisi Pelawak TPI (API) I tahun 2005 besama group lawak SOS. Dari tiga orang anggota SOS, hanya Sule yang meraih puncak ketenaran.
Puncak popularitas Sule diraih lewat acara komedi Opera Van Java. Konsep acara itu mempertemukan sejumlah pelawak dalam satu acara komedi. Di situ Sule bergabung dengan Parto Patrio, Azis Gagap, Nunung Srimulat, serta Andre Taulany eks vokalis Stinky.
Jagat budaya pop kita memang selalu memberi tempat pada mereka yang berwajah kampung. Umumnya, mereka hadir untuk menghibur. Mereka biasanya bukan tokoh utama dalam sebuah cerita. Namun kehadiran mereka juga tak bisa dianggap enteng. Sebab, mereka bikin kita tertawa. Makanya, kebanyakan dari mereka datang dari latar belakang pelawak.
Selanjutnya: Para Punakawan...
Advertisement
Para Punakawan
Para Punakawan
Tradisi membuat guyon oleh karakter sampingan ini sudah ada sejak berabad lampau. Anda tentu mafhum, kisah Mahabharata yang disadur leluhur kita dari tanah India menambahkan unsur guyon dari para punakawan, sesuatu yang tak ada dalam kisah Mahabharata versi India.
Ditengarai, awalnya, di Abad ke-12 peran punakawan belum melucu, melainkan sebatas memberi nasihat dan menjadi kawan setia ksatria. Baru pada abad ke-13 dan 15, punakawan muncul dalam cerita wayang dengan tujuan memberi nasihat dan melucu.
Tradisi karakter sampingan yang lucu ini kemudian juga merambah ke bentuk tontonan modern, film dan sinetron. Pada titik inilah kita kemudian bertemu dengan Benyamin S, Mandra, sampai Sony Wakwaw.
Kata Emil G. Hampp, sutradara Emak Ijah Pengen ke Mekah, sinetron yang melambungkan nama Sony, orang-orang lucu, aneh, atau memiliki keunikan yang bisa mengundang tawa bakal selalu dapat tempat di industri hiburan kita. "Sinetron ini kan sinetron `gokil`, jadi orang-orang kayak Sony cuma bisa masuk di sinetron kami," katanya.
Emil mencontohkan, di Emak Ijah Pengen ke Mekah ada karakter seorang nenek yang diberi nama Mak Gadis. Perannya cuma ketawa “hihihi” saja. Si nenek ini aslinya orang miskin. Tapi dengan main sinetron begitu, ia bawa pulang Rp 100-150 ribu per hari ke rumah.
“Kalau nggak begitu, mungkin kerjanya cuma cari kutu setiap hari,” kata Emil.
Hal di atas memberi kenyataan yang terkadang luput kita sadari. Karena orang semacam Sony Wakwaw sudah menghibur kita, membuat kita tertawa, membikin kita sejenak lupa akan penat dan beban hidup, mereka berhak untuk mendapat penghidupan yang layak. Sony Wakwaw atau Elly Sugigi berhak punya hidup bahagia. (Ein)