Liputan6.com, Jakarta 26 Desember 2004, bukan hanya menjadi tanggal bersejarah bagi Indonesia, tapi seluruh dunia. Semua orang belajar dari fenomena alam Tsunami yang menyebabkan kematian, kerusakan dan kerugian di bumi serambi Mekkah Aceh.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hampir 200 ribu orang kehilangan nyawa, 800 fasilitas kesehatan hancur, kehidupan di wilayah tepi laut tersapu bersih. Bencana maha besar tersebut menjadi titik balik bagi dunia, menyadarkan kita betapa pentingnya kesiap-siagaan untuk dapat melakukan upaya tanggap terhadap bencana sejenis, dimanapun, kapanpun.
Advertisement
Disampaikan Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara, Dr Poonam Khetrapal Singh, upaya terpadu telah dilakukan sejak itu. Kantor regional WHO untuk kawasan Asia Tenggara (SEARO) bersama perwakilan WHO di negara-negara yang terkena Tsunami, bekerjasama untuk mengembangkan kesiap-siagaan untuk keadaan gawat-darurat dan kapasitas upaya tanggap bagi bencana serupa.
"Sejumlah dokumen untuk kesiap-siagaan dan upaya tanggap kedaruratan (Emergency Preparedness and Response) telah disusun oleh SEARO, mencakup standar, indikator, daftar periksa untuk menilai ketersediaan dukungan hokum, perencanaan, keuangan, koordinasi mekanisme, kapasitas masyarakat serta peringatan dini," katanya dalam keterangan pers yang diterima Liputan6.com, Selasa (23/12/2014).
Selain itu, WHO juga membentuk Dana Kedaruratan Kesehatan atau South-East Asia Regional Health Emergency Fund (SEARHEF) bagi pendanaan kedaruratan yang kerap tak dapat diprakirakan.
Dokumen-dokumen WHO (WHO Benchmarks) telah digunakan negara-negara anggota untuk pengembangan kapasitas dan asesmen bagi pengelolaan risiko pada sector kesehatan di Indonesia. Indonesia, Thailand, India, Sri Lanka dan Maladewa terus meningkatkan kemampuan sistem yang telah dibangun dengan pengetahuan dan perangkat yang dikembangkan berdasar pelajaran yang diambil dari Tsunami. Bahkan negara-negara yang tak terkena Tsunami dapat memanfaatkan pelajaran tersebut.
WHO Benchmarks dan SEARHEF, yang dibentuk setelah Tsunami tahun 2014, telah dimanfaatkan pada bencana-bencana di tahun-tahun berikutnya. Sebagai hasilnya, kesiap-siagaan dan kemampuan upaya tanggap telah banyak meningkat, sebagaimana tampak pada gempa bumi besar di Sumatera, Indonesia tanggal 11 April 2012. Evakuasi yang segera, peringatan dini di seluruh kawasan Asia Tenggara disertai gerakan pemerintah dan masyarakat dapat menekan kerusakan dan terutama, kematian.
Menimbang kesiap-siagaan merupakan kunci untuk menekan dampak bencana, diperlukan pengukuran kesiap-siagaan dalam menghadapi risiko berbagai bencana. Penting untuk terus menerus mengukur kemampuan secara obyektif, sembari terus mengidentifikasi dan melakukan perbaikan terhadap kekurangan-kekurangan yang masih ada, agar dapat melakukan upaya tanggap dengan lebih baik.
Upaya dan investasi kita dalam perencanaan dan berespon terhadap kedaruratan harus terus berlanjut. Kemampuan mengelola risiko harus mumpuni di setiap tingkatan masyarakat, di seluruh sektor, karena bersamaan dengan meningkatnya kapasitas, meningkat pula risiko kita. Kita harus tetap berinvestasi dan memperkuat kapasitas pencegahan dan kesiap-siagaan untuk menyelamatkan nyawa.
Baca Juga