Belajar Kasih Sayang dari Alzheimer

Kisah Hana Meilina N (69) kala mengetahui suami tercinta didiagnosa menderita demensia Alzheimer.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 24 Des 2014, 15:00 WIB
Ilustrasi Alzheimer. Foto: nordicinnovation

Liputan6.com, Jakarta Semua mungkin ada hikmahnya. Hanya itu yang tersirat oleh pensiunan PNS Departemen Pekerjaan Umum, Hana Meilina N (69) kala mengetahui suami tercinta didiagnosa menderita demensia Alzheimer.

Sebagai makhluk Tuhan yang tidak berdaya di depan-Nya, Hana selalu menganggap penderitaan, kepiluan dan kesedihannya ini sebagai  pelajaran tentang kehidupan, bagaimana cinta dan kasih sayang menjadi kekuatan terbesar dari Yang Maha Kuasa.

Hana bercerita, suaminya adalah Alm. Soetojo Moentoro Tjokrosoedirdjo, seorang insyinyur Elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang lahir pada 1941. Mereka menikah pada 1970 dan dikaruniai 3 orang anak.

Memasuki usia perkawinan ke 35 tahun, suami menderita sakit yang membuatnya harus tetap di tempat tidur. "Prof. Yusuf Misbach, dokter yang menangani suami saya waktu itu mengatakan kalau dia bukan hanya menderita diabetes, hipertensi, dan kekentalan darah tapi juga demensia Alzheimer Complex," kata Hana saat Peluncuran Buku Ketika Ibu Melupakanku di Jakarta, ditulis Rabu (24/12/2014).

Hana mengungkapkan bagaimana suaminya itu secara perlahan tapi pasti mengalami stadium awal demensia hingga stadium lanjut. "Saya melihat, penyakit ini menakutkan. Slowly but sure, terus membunuh saraf sendi kehidupan."

"Dimulai dengan stroke ringan, kondisi fisik suami semakin menurun. Kalau jalan kaki diseret, berjalan tidak tegak, serta kepala sering menunduk seperti berat. Kemudian berlanjut ke stadium ringan, cara bicaranya mulai agak pelo, lama berpikir, tidak fokus, tangan sulit digerakkan, tidak bisa menulis," ujar Hana.

Stadium sedang semakin memperburuk kondisinya. Pada 2005-2006, Hana menuturkan kalau suaminya masih bisa dibangunkan dan dipapah ke kamar mandi untuk dibantu keramas, mandi dan gosok gigi, berpakaian, menyisir rambutnya lalu dirapihkan. Namun sayang, suaminya mulai tidak ingat waktu dan tempat, nama anak dan cucu.

"Memasuki 2005, ini masa terberat saya. Memorinya semakin menurun. Dia mulai mengalami gangguan kepribadian. Tengah malam minta diantarkan pulang dengan mobil ke rumahnya di Lebak Bulus, karena katanya ini bukan rumahnya (padahal waktu itu dia berada di Lebak Bulus). Saya membawanya berkeliling naik mobil melihat lampu jalanan baru kemudian dia mau masuk rumah. Dia juga sering berhalusinasi, memanggil kaka dan ibunya yang telah meninggal. Karena semua hal ini pula, saya akhirnya menderita darah tinggi hingga 180/110 mmhg," katanya.

Dengan usia yang semakin bertambah, membuat Hana mulai tidak kuat memapah sang suami. Ia pun disarankan untuk memiliki pendamping (caregiver) laki-laki.

"Pertengahan 2007, dengan memori dan fisik yang semakin melemah, suami harus dikateter, karena air seni tidak lancar. Hal ini pula menyebabkan kaki bengkan sampai mata kaki, BAB tidak bisa dikontrol, dan karena terus berbaring punggungnya lecet, terkena decubitus," tuturnya.

Penghujung 2008, dengan berat hati, Hana harus rela kalau suaminya memasuki stadium berat demensia Alzheimer, the Final Goodbye. "Setiap dua minggu sekali, kateter dan sonde itu harus diganti dengan yang baru: yang satu, kateter ke lubang urine, satunya lagi sonde ke lubang hidung. Mulai saat itu saya sudah tidak tahan lagi menyaksikan penderitaannya."

Meski keadaannya sangat memilukan, tapi menurut Hana, suaminya tidak pernah mengeluhkan sakit sedikitpun. Dia bahkan terlihat begitu tenang. "Setiap pagi saya selalu membisikan, 'ini mah sayangnya mamah'. Biasanya dia akan menatap mata saya dan saya cium kedua belah pipinya. Tapi suatu saat saya tanya padanya, 'Apakah bapak bisa merasakan betapa mamah sangat mengasihi dan menyayangi bapak? Dengan sorot mata yang tulus, dia menganggukkan kepala."

"Ya Allah, bahagia sekali rasanya mendengar jawaban suami yang senantiasa saya nantikan. Allah Mahatahu apa yang ingin kami ingin rasakan bersama, suatu kasih sayang yang disertai rasa hormat dan kekaguman atas ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan," katanya.

Menjelang saat-saat terakhir itu, sang suami akhirnya dipanggil pulang oleh Yang Maha Pencipta. "Apa yang diucapkan hanyalah ucapan panggilan kesayangan pada istrinya, Mamah..mamah. Tal ada lagi ingat nama anak, cucu, maupun saudara lainnya. Dimulai demam tinggi, sulit bernapas karena cairan di paru-paru, akhirnya suami meninggal pada 6 Maret 2008."

"Saya sendiri yang mengalaminya. Selama 6 tahun lebih merawat suami, saya pikir bahwa Alzheimer tidak bisa menghacurkan kasih sayang kami. Karena sampai saat terakhir, dia masih bisa merasakan kasih sayang istrinya," ujarnya lirih.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya