Liputan6.com, Jakarta Di akhir novel The Hobbit, Gandalf berkata pada Bilbo Baggins, "Kau hobbit yang sangat baik, Mr. Baggins! Dan aku sangat bangga akan dirimu; tapi kau juga hanya makhluk kecil di tengah alam semesta yang begini besar!"
"Syukurlah!" kata Bilbo sambil tertawa, seraya mengulurkan tempat tembakaunya.
Advertisement
Versi filmnya, bagian ketiga atau tepatnya The Hobbit: The Battle of the Five Armies tidak berakhir begitu. Di ujung film kita melihat Bilbo Baggins yang sudah tua di dalam rumahnya. Ia termenung sambil mengenang petualangannya di masa muda. Lamunannya diganggu ketukan pintu. Ada tamu. Gandalf, kawan lamanya datang.
Di novel aslinya, JRR Tolkien, sang pengarang, hendak berpesan bahwasanya dunia yang dditinggali Bilbo Baggins sang hobbit sungguhlah luas. Ia seolah hendak memberi petunjuk, petualangan yang lebih besar, atau bahkan malapetaka yang punya skala lebih luas bakal terjadi di Dunia Tengah (Middle Earth), dunia tempat ia tinggal.
Sementara itu, akhir versi filmnya adalah sebuah lingkaran penutup dari hikayat Dunia Tengah di layar lebar. Dengan adegan kedatangan kakek penyihir Gandalf ke rumah Bilbo tua, antara trilogi The Hobbit--yang dimulai 2012 lewat The Hobbit; An Unexpected Journey, lalu berlanjut dengan The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013) dan berakhir di film ketiga, The Hobbit: The Battle of the Five Armies ini--akhirnya bertemu dengan trilogi The Lord of the Rings (Fellowship of the Ring [2001], The Two Towers [2002], dan The Return of the King [2003]).
Trilogi The Lord of the Rings merupakan salah satu dari sedikit rangkaian tiga film yang layak disebut klasik, tak lekang dimakan zaman. Sepanjang sejarah sinema, hanya sedikit trilogi yang pantas menyandang predikat itu. Selain The Lord of the Rings ada trilogi Star Wars pertama, trilogi The Godfather, trilogi Back to the Future, trilogi The Matrix, trilogi Spider-man-nya Sam Raimi, dan trilogi The Dark Knight atau tiga film Batman-nya Christopher Nolan.
Hollywood kemudian memang kerap tergoda memperpanjang umur sebuah franchise. Namun pula, hasilnya kerap mengecewakan. Sebuah trilogi sempurna dirusak film lanjutan atau sekuel yang, bukan saja tak sanggup melampaui tiga film sebelumnya, tapi juga merusak nama baik film pendahulunya. Misal, trilogi Indiana Jones yang dirusak oleh sekuelnya Indiana Jones: The Kingdom of the Crystal Skull.
Atau pula, yang kerap jadi contoh klasik bagaimana trilogi yang sempurna dirusak tiga film yang lahir dari semesta yang sama adalah trilogi Star Wars. Tiga film prekuelnya--The Phantom Manace, Attack of the Clones, dan Revenge of the Sith--hampir semua sepakat, merupakan sebuah bencana.
Sang pencipta Star Wars, George Lucas merusak masterpiece-nya sendiri dengan membuat tiga film--yang mengisahkan cerita sebelum trilogi pertama--dengan kualitas jauh di bawah film-film terdahulu. Ia menyuguhkan penggemar setianya cerita tentang konflik dagang di luar angkasa, karakter punakawan yang konyol (Jar Jar Binks!), serta pemeran utama yang berakting kaku (Hayden Christensen sebagai Anakin Lukeskywalker alias Darth Vader).
Saat Peter Jackson memutuskan mengambil alih komando membuat tiga film dari hikayat Dunia Tengah yang sejatinya adalah prekuel dari trilogi The Lord of the Rings karyanya, dalam diri ini muncul rasa khawatir: apa ia bakal mengulangi kesalahan yang sama yang dibuat George Lucas?
Sebuah Lingkaran Penuh
Untunglah tidak. Namun, mengangkat cerita The Hobbit ke layar lebar memiliki problematikanya sendiri. Terutama bila dunia sudah begitu jatuh cinta pada The Lord of the Rings versi film. Apalagi kemudian, novel The Hobbit, dari mana kisahnya berasal, sejatinya sebuah roman petualangan yang ditujukan bagi remaja dan anak-anak. Silakan baca novelnya dan Anda akan temukan gaya bertutur JRR Tolkien seolah pendongeng cerita pada bocah.
Maka, Peter Jackson--yang akhirnya mengambil alih proyek film The Hobbit setelah ditinggal sutradara lain--punya tugas berat: bagaimana mensinkronkan cerita sederhana The Hobbit dengan cerita kompleks di trilogi The Lord of the Rings; ia ditantang bagaimana meyakinkan penonton bahwa kisah The Hobbit adalah prekuel The Lord of the Rings.
Sang sineas kemudian mengambil langkah radikal. Cerita sederhana novel The Hobbit ia rombak. Peter Jackson nampak hanya mengambil alur ceritanya dan menambahi sana-sini dari unsur-unsur lain dalam semesta Dunia Tengah Tolkien. Ia juga menambahi sub-plot dan tokoh yang tak muncul di novel aslinya, namun punya peran penting di versi filmnya.
The Hobbit mengisahkan petualangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) mengikuti perjalanan 13 kurcaci ke gunung tempat naga raksasa Smaug menjaga harta karun yang tak terperi jumlahnya. Kisah petualangan macam begini memungkinkan ditambahi unsur di sana-sini hingga jadi lebih panjang dan lebih kompleks dibanding cerita asli.
Syahdan, novel yang edisi terjemahan Indonesia-nya tak lebih dari 350 halaman itu dibagi jadi tiga film oleh Peter Jackson. Bagian ketiga ini mengambil sekitar hampir 70 halaman terakhir novel The Hobbit, dengan lima belas halaman adegan pertemupuran di akhir novel diubah jadi hampir setengah film berdurasi 2,5 jam.
Maka, sejatinya, The Hobbit versi film bukan lagi novel versi Tolkien, melainkan hikayat versi Peter Jackson.
Lewat trilogi The Hobbit dan sebelumnya trilogi The Lord of the Rings, Peter Jackson menunaikan tugasnya menyempurnakan sebuah hikayat untuk menjadi lingkaran sempurna. Ia telah mewariskan kepada kita--dan bagi generasi setelah kita--enam film epik kolosal yang takkan lekang dimakan zaman. Tahniah, Mr. Jackson! (Ade/Mer)
Advertisement