Liputan6.com, Jakarta Pasti Anda pernah mendengar istilah darah biru? Sebagian besar orang memberikan julukan ini kepada mereka yang memiliki darah bangsawan. Pada bulan November 2014 ini, Health-Liputan6.com membahas topik ini dan berhasil menarik perhatian pembaca.
Ada banyak serba-serbi yang dikulik tentang darah biru. Mulai dari mengulik bagaimana upaya mempertahankan darah biru hingga darah biru yang sesungguhnya.
Advertisement
Mengukir Darah Biru
Dalam banyak budaya terutama Jawa, pewaris darah biru ini biasanya akan berusaha mendapatkan pasangan yang juga berasal dari kalangan darah biru. Dengan demikian mereka akan bisa menurunkan generasi darah biru yang berkualitas. Inilah yang disebut dengan mengukir darah biru.
Konsep mengukir darah biru ini biasanya hanya diketahui oleh kalangan tertentu dan bersifat rahasia. Konsep spiritual leluhur Jawa ini dikenal dengan istilah hangukir trahing kusuma/trahing aluhur yang artinya mengukur keturunan orang bangsawan/kaum yang tinggi derajatnya.
Sifat pemilih ini menunjukkan adanya pembedaan derajat atau trah/garis keturunan. Kata trah berasal dari kata rah (Jawa) yang artinya darah, menjadi gotrah (keluarga, sanak saudara sedarah) dan trah dengan arti garis keturunan.
Konsep ini berlaku umum dengan anggapan bahwa 'raja sebagai keturunan dewa' harus dijaga dan dipertahankan kemurnian darahnya agar tidak tercemar oleh darah keturunan non-dewa (rakyat biasa).
'Darah Biru' yang Sesungguhnya
Sudah saatnya situasi dikembalikan sesuai kenyataan yang sesungguhnya karena pengertian 'darah biru' sebenarnya adalah 'kualitas manusia unggul' (berbudi pekerti, jujur, toleran, pekerja keras, murah hati, rendah hati, bersahaja, dan masih banyak sifat lain yang bisa disebut) yang berlaku untuk siapa saja, tanpa pandangan bulu, semua orang yang berkemampuan tinggi melebihi kemampuan manusia lain yang dalam bahasa Jawa disebut memiliki rah adi (darah yang indah).
Merujuk pada pengertian 'darah biru' yang sesungguhnya kepada mereka manusia yang berkualitas unggul ada banyak tokoh-tokoh yang berasal dari rakyat jelata. Sebut saja Jenderal Soedirman, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid dan sekarang Joko Widodo. Serta tokoh-tokoh lain yang layak disebut.
Tentu saja, tak hanya rakyat jelata yang bisa jadi pemimpin, warga biasa dengan kualitas manusiawi yang unggul pun banyak kita temui sekarang ini.