Liputan6.com, Jakarta - Dalam sehari, 27 Desember 1949, 3 upacara penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia digelar. Pertama, di Amsterdam, tepatnya di Istana Op de Dam. Wakil Presiden sekaligus perdana menteri, Mohamad Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
"Kedua negara (Belanda dan Indonesia) tak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan," kata Ratu Belanda Juliana kala itu, sesaat setelah naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani.
Bung Hatta yang bicara Bahasa Indonesia dalam sebuah pertemuan KMB menekankan pentingnya penyelesaian damai konflik dua negara. "Empat tahun lamanya rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, karena merasa dendam di dalam hati ... Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita," kata dia.
Sementara itu di Istana Negara, Jakarta, penyerahan kedaulatan dilakukan antara wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai wakil perdana menteri.
Setelah penandatanganan itu, Sultan dan Tony Lovink keluar, berdiri di depan Istana. Di sana bendera Belanda diturunkan lalu. "Sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti," demikian diungkapkan Herman Burgers, tentara Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut, meski lewat radio dalam bukunya De Garoeda en de Ooievaar, seperti Liputan6.com kutip dari situs Radio Nederland.
Lalu, senyap, semua diam. Bendera Merah-Putih dikibarkan dalam suasana dramatis. Namun, "Ada kecelakaan kecil, karena bendera itu sempat tertahan. Seorang prajurit Belanda membantu prajurit TNI membereskannya, lalu tibalah saat yang dinanti-nanti, sang saka merah putih berkibar," tambah Herman. Maka pecahlah sorak sorai ribuan orang.
Dari penuturan Herman, ternyata ada upacara lain yang dilaksanakan hari itu. Yang tidak disiarkan lewa radio. Upacara ketiga tersebut dilakukan di Gedung Negara, Yogyakarta. Di tengah rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI).
Advertisement
Sukarno kala itu menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya untuk sementara kepada Assaat, ketua KNIP. Sesudah itu, Assaat, sebagai wakil Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945, menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh presiden terpilihnya: Sukarno sendiri.
"Yang bagi saya penting adalah tindakan simbolisnya. Assaat menyerahkan sebuah kotak kayu berisi bendera yang pada tanggal 17 Agustus 1945 dikibarkan di Pegangsaan Timur 56. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati," kata Herman.
Menurut dia, upacara ketiga punya arti sangat penting. "Upacara ini harus berlangsung karena kedaulatan Indonesia tidak hanya berdasarkan pada yang diterimanya dari Belanda."
Namun juga didasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Penegasan bahwa kemerdekaan RI direbut dan diperjuangkan, bukan sekedar hadiah.
Awalnya Belanda kukuh mengakui kemerdekaan Indonesia adalah pada 27 Desember 1949, hari ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani. Bukan pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan baru diberikan pada pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot di Gedung Departemen Luar Negeri di Jakarta.
Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Untuk kali pertamanya dalam sejarah.
Selain penyerahan kedaulatan kepada RI, tanggal 27 Desember juga diwarnai sejumlah peristiwa penting. Pada tahun 2007, mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto dibunuh dengan tembakan dan serangan bom bunuh diri saat berpawai di daerah Rawalpindi.
Sementara, pada 1982, Majalah Time untuk kali pertamanya memilih komputer pribadi atau PC sebagai "Man of the Year". Benda bukan manusia pertama yang mendapat gelar itu. (Ein/Ans)
Baca Juga