Liputan6.com, Jakarta - Hingga kini penyebab hilang kontaknya pesawat terbang AirAsia QZ8501 masih belum terungkap. Keberadaan pesawat dengan rute Surabaya-Singapura itu juga belum terdeteksi. Baru 41 menit mengudara, pesawat berjenis Airbus A320-200 yang membawa 162 orang itu lenyap tanpa jejak, bahkan tanpa menyisakan ELT (emergency locator transmitter) sekalipun.
Meski belum dipastikan penyebabnya, namun menurut hasil studi yang dilakukan International Air Transport Association Asosiasi (IATA), atau Asosiasi Penerbangan Komersial Internasional, dalam satu dekade terakhir insiden kecelakaan (masalah teknis) pada penerbangan pesawat komersial dominan terjadi karena penggunaan gadget.
IATA mencatat setidaknya telah terjadi 75 insiden terkait penggunaan gadget, baik oleh penumpang maupun awak maskapai penerbangan. Laman ABC News merinci ada 26 kasus penggunaan gadget yang mempengaruhi sistem auto-pilot dan kontrol pendaratan.
Lalu ada 17 kasus yang mempengaruhi sistem navigasi, 15 kasus mengganggu sistem komunikasi, dan 13 kasus sisanya memicu aktifasi tanda bahaya.
Senada dengan IATA, UK Civil Aviation Authority atau Otoritas Aviasi Sipil Inggris juga menyimpulkan potensi bahaya yang sama terkait penggunaan gadget di pesawat terbang. UK Civil Aviation Authority bahkan dengan tegas menyatakan bahwa jaringan komunikasi yang digunakan perangkat mobile Blackberry atau iPad dapat menyebabkan sistem auto-pilot tidak bekerja dan tanda bahaya menyala.
Contoh kasus
Salah satu contoh kasus kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan oleh penggunaan gadget atau perangkat telekomunikasi terjadi di tahun 2003 di Selandia Baru.
Kala itu sebuah pesawat penerbangan jarak pendek yang mencoba lepas landas di bandara internasional Christchurch, Selandia Baru, mengalami kecelakaan. Hasil investigasi Transport Accident Investigation Commission menyebutkan bahwa terjadi kerusakan pada instrumen navigasi pesawat yang disebabkan oleh penggunaan alat telekomunikasi seluler.
Ironisnya, setelah diselidiki ternyata sang pilot lah yang menggunakan ponsel di dalam pesawat untuk menghubungi keluarganya. Alhasil nahas, pesawat tersebut gagal lepas landas dan terjadi kecelakaan yang memakan 8 korban jiwa.
"Memang tidak semua penggunaan perangkat telekomunikasi menyebabkan kecelakaan pesawat terbang. Namun potensinya cukup besar," ungkap David Carson, Insinyur dari Boeing seperti yang dikutip dari laman The New York Times.
Carson menambahkan, "Pesawat dengan umur yang lebih tua mungkin akan semakin mudah terganggu dengan adanya penggunaan gadget."
Advertisement
Pro-kontra penggunaan gadget saat penerbangan
European Aviation Safety Agency (EASA), atau Agensi Keselamatan Penerbangan Eropa pada bulan Oktober 2014 kemarin telah mengumumkan bahwa para penumpang pesawat terbang yang bepergian di wilayah Eropa diperbolehkan menggunakan smartphone ataupun tablet selama penerbangan.
Tahun lalu, tepatnya pada bulan November 2013, keputusan serupa juga telah lebih dulu diresmikan oleh Federal Aviation Administration (FAA) di Amerika Serikat.
Ternyata penerapan regulasi yang membebaskan para penumpang pesawat untuk menggunakan gadget-nya selama pesawat take-off maupun mendarat ini tidak dsetujui oleh para awak pesawat. Serikat Pramugari Amerika Serikat dilaporkan menjadi pihak yang paling menentang kebijakan ini.
Serikat Pramugari Amerika Serikat telah mengajukan gugatan kepada Pengadilan Banding Amerika Serikat. Mereka meminta agar FAA membatalkan kebijakan penggunaan gadget di dalam pesawat.
Salah satu alasan utama adalah kekhawatiran para penumpang akan mengabaikan demo keselamatan penerbangan yang diperagakan awak pesawat saat persiapan penerbangan. Selain itu, Serikat Pramugari juga menilai aturan ini belum melewati prosedur uji publik.
Meski begitu, pihak FAA tetap berdalih bahwa penggunaan gadget di dalam pesawat cukup aman. Mereka juga mengatakan telah melakukan uji coba yang disaksikan pihak publik. (dhi/dew)