Liputan6.com, Jakarta - Minggu pagi, 28 Desember 2014, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 terbang dari Bandara Internasional Juanda, Surabaya menuju Bandara Internasional Changi, Singapura, pada pukul 05.36 WIB.
Baru 41 menit mengudara, Airbus A320-200 yang membawa 162 orang hilang kontak. Menurut Kepala Basarnas Marsekal Madya Bambang Soelistyo, pesawat yang mengangkut 155 penumpang dan 7 awak tersebut diperkirakan berada di dasar laut. Namun belum diketahui pasti mengapa pesawat itu bisa berada di laut. "Dugaan sementara pesawat ada di dasar laut," ujar Bambang dalam keterangan pers di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (29/12/2014).
Jika memang terjadi sesuatu hingga membuat pesawat hilang kontak, pertanyaan mengemuka: mengapa tak ada pemberitahuan kondisi darurat 'mayday' dari kapten pilot Iriyanto. Juga tak ada sinyal ELT (emergency locator transmitter) otomatis dari sistem pesawat.
Menurut ahli keamanan penerbangan Australia, Des Ross, alasan kenapa pilot AirAsia QZ8501 tak meneriakkan tanda darurat 'Mayday' karena kemungkinan saat itu si juru terbang sedang sibuk mengendalikan pesawat dan mengurus atau memastikan keselamatan penumpang.
"Kemungkinan, prioritas adalah agar pesawat tetap bisa terbang dan menjamin keselamatan penumpang," ujar Des Ross, seperti dimuat News.com.au. "Langkah utama yang dilakukan adalah menemukan solusi atas masalah yang sedang terjadi," imbuh dia.
Faktor cuaca diduga menjadi salah satu penyebab hilangnya AirAsia. Berdasarkan analisis peneliti sains atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Erma Yulihastin, dengan menggunakan fasilitas sistem informasi peringatan dini SADEWA, saat itu di area QZ8501 terbang, angin sedang bertiup kencang. Data satelit MTSAT juga menunjukkan sedang adanya pertumbuhan awan kumulonimbus (cumulonimbus) yang menjulang tinggi di area pesawat melintas.
Sesaat sebelum hilang kontak, pilot sempat meminta izin kepada petugas ATC atau pengendali lalu lintas udara untuk berbelok ke kiri dan naik hingga ketinggian 38.000 kaki. Diduga permintaan si pilot itu untuk menghindari awan kumulonimbus yang dikenal tebal dan pekat. Petugas ATC mengizinkan pilot belok kiri, namun tidak membolehkan pesawat itu naik ketinggian lantaran ada pesawat lain.
Des Ross mengaku heran kenapa tak ada sinyal ELT jika memang pesawat dalam kondisi darurat. Menurut dia, kemungkinan sistem pesawat saat itu tak berfungsi hingga menyebabkan ELT tak memancar. "ELT dikenal sebagai alat cukup handal dalam situasi darurat," tandas Des Ross.
Sementara itu, menurut pakar penerbangan internasional, Geoffrey Thomas, saat itu pilot yang saat itu diduga tengah menghadapi cuaca buruk memperlambat kecepatan pesawat dalam upaya untuk menghindari awan. Karena kecepatan melambat, kapal terbang mengalami aerodynamic stall yang membuatnya jatuh ke bawah.
"Kecepatan pesawat diperkirakan melambat hingga membuatnya terkena aerodynamic stall, seperti yang terjadi pada pesawat Air France AF447 pada 2009," ujar Thomas, seperti dimuat The Guardian.
Hingga kini, pencarian AirAsia QZ8501 terus dilakukan di perairan antara Tanjung Pandan, Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan pada sisi kawasan Pontianak. Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengatakan, pencarian AirAsia QZ8501 dengan menggunakan kapal laut akan terus dilakukan tanpa mengenal waktu.
"Pencarian dengan kapal laut dilakukan 24 jam nonstop. Untuk pencarian yang menggunakan pesawat udara, pencarian akan ditarik bila keadaan sudah gelap," tegas Jonan.
Kepala Basarnas Marsekal Madya FHB Soelistyo mengatakan akan memperluas sektor pencarian pesawat AirAsia QZ8501. Proses pencarian selama 2 hari terakhir ini sudah dilakukan di 7 sektor di kawasan Pulau Belitung sampai perairan Selat Karimata. Pada Selasa 30 Desember, Basarnas bakal menambah 4 sektor pencarian. (Riz/Ali)
Advertisement