Kepala PPATK: Ada 45 Transaksi Mencurigakan Kepala Daerah

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ([PPATK](2151616 "")) menemukan 45 hasil analisis berisi transaksi keuangan mencurigakan.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Des 2014, 18:05 WIB
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menjawab pertanyaan wartawan seusai mengadakan pertemuan dengan KPK digedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (23/10). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 45 hasil analisis berisi transaksi keuangan mencurigakan. Transaksi itu berasal dari sejumlah kepala daerah dan keluarganya dengan nilai total mencapai triliunan rupiah sepanjang 2014.

"Kami menemukan ada beberapa kepala daerah yang transaksi keuangannya menurut kita tidak sesuai dengan profil, bupati ada 26 orang dengan nilai total uangnya Rp 1,38 triliun," kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf di gedung PPATK Jakarta, Selasa (30/12/2014).

Laporan itu selain berasal dari database yang ada di PPATK juga didapat dari database kepemilikan rekening yang ada pada penyedia jasa keuangan baik bank maupun nonbank. "Selanjutnya gubernur ada 12 orang karena kita lihat berapa gaji gubernur, tapi ternyata masih ada nilai uang yang dilaporkan ke kami (di luar nilai gaji)," tambah Yusuf.

Menurut dia, nilai transaksi dari 12 rekening gubernur tersebut mencapai sekitar Rp 100 miliar. "Kemudian istri gubernur itu 1 orang, transaksinya memang hanya Rp 15 miliar, tapi itu baru yang ketahuan, nanti tidak lama seperti Akil Mochtar yang lalu mencapai Rp 12 miliar tidak bisa tidak lewat (uang masuk melalui) istrinya," ungkap Yusuf.

Rekening Bupati

PPATK juga menemukan rekening mencurigakan milik 2 orang wakil bupati yang mencapai Rp 1,8 miliar. "Kan tidak ada gaji wakil bupati sebesar itu." Selanjutnya ada 1 orang wakil gubernur dengan nilai transaksi Rp 300 juta.

"Wakil gubenur ada 2 orang totalnya Rp 1,8 miliar. Lalu ada 1 anak bupati dengan nilai Rp 3 miliar. Ini yang juga jadi concern KPK bahwa korupsi itu sudah jadi praktik keluarga," tambah Yusuf.

Namun Yusuf enggan menyebutkan nama-nama kepala daerah maupun keluarganya yang transaksinya mencurigakan teresbut. "Hasil analisis ini seluruhnya telah disampaikan kepada penyidik sesuai dengan kewenangan masing-masing," jelas Yusuf.

Namun, laporan hasil analisis (LHA) yang diberikan PPATK baik ke Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian maupun kejaksaan, sambung dia, kerap tidak ditindaklanjuti.

"Banyak LHA yang tidak dipakai dengan berbagai alasan, berangkat dari pengalaman tersebut maka kami memilih mana LHA yang benar-benar kuat dan kemudian mengirimkan ke Dirjen (Direktorat Jenderal) Pajak," jelas Yusuf.

Hasilnya, PPATK mengirimkan 69 LHA terindikasi tindak pidana perpajakan kepada Ditjen Pajak, dari sejumlah LHA itu terdapat potensi pendapatan negara sebesar Rp 2,068 triliun. Potensi itu sebagian telah terealisasi karena Ditjen Pajak memperoleh pelunasan pembayaran pajak kurang bayar dari pihak-pihak terkait sebesar Rp 1,04 triliun dan sisanya masih terus dilakukan proses penagihan. (Ant/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya