Liputan6.com, Jakarta Ketika menonton film yang diproduksi MD Pictures—rumah produksi milik ayah dan anak, Dhamoo dan Manoj Punjabi—yang harus disiapkan dahulu adalah pemakluman dan rasa maaf. Termasuk saat menonton Merry Riana ini.
MD Pictures punya kebiasaan memasukkan iklan produk secara serampangan di film. Product placement, begitu istilah kerennya, kerap terpampang jelas. Yang kerap diingat orang, dan tampaknya jadi dosa abadi rumah produksi ini, tentu saat produk makanan ringan dan obat nyamuk nongol di film berlatar masa lalu Di Bawah Lindungan Ka`bah (2011).
Di Merry Riana, kita juga melihat sejumlah merek jadi product placement. Sekali lagi, kita patut maklum. Hal itu bukan cara haram. Dengan product placement, rumah produksi dapat tambahan dana untuk meringankan ongkos produksi dan promosi. Hollywood pun melakukan praktek itu. Coba tengok lagi Transformers: Age of Extinction. Ada berbagai merek produk terpampang nyata di layar sepanjang film.
Nah, selain pemakluman atas product placement, yang harus ditambahkan saat nonton Merry Riana rasanya juga kata `maaf`. Lho, kenapa harus memberi maaf pada film yang kita tonton?
Begini, sebab, jika Anda tak memaafkan terlebih dahulu atas kejanggalan film ini, Anda mungkin tak bisa menikmatinya. Anda mungkin akan langsung merasa bad mood. Langsung memvonis filmnya jelek. Malas mencermati ceritanya, dan ujungnya, tidak bisa memetik pelajaran dari filmnya. Sungguh, jika begitu adanya, Anda bakal rugi.
Maka, saya mohon, berilah sedikit maaf pada film ini.
Sebuah maaf diperlukan begitu film dimulai. Kita melihat sosok Merry Riana (diperankan Chelsea Islan dengan acting yang meyakinkan) berdiri sambil menatap bangunan megah Marina Bay Sand. Koper merah besar berdiri di sampingnya. Ia baru tiba di Singapura.
Merry sendirian di negeri singa itu. Ia diterbangkan ayahnya ke Singapura. Jakarta dilanda kerusuhan pada Mei 1998. Etnis Tionghoa yang minoritas banyak jadi korban. Banyak pula yang mengungsi ke bandara, hendak meninggalkan Jakarta. Lantaran dirampok di jalan, tak semua anggota keluarga Merry bisa pergi. Uang hanya cukup untuk beli satu tiket ke Singapura. Merry yang pergi sendirian ke Singapura.
Kita melihatnya sebatang kara, berdiri menatap gedung Marina Bay Sands yang puncaknya seperti perahu ditopang balok kayu.
Tunggu, Marina Bay Sands dan kerusuhan Mei 1998 di waktu bersamaan? Sedikit berselancar di dunia maya, dengan mudah Anda bakal menemukan kalau Marina Bay Sand belum ada wujudnya di bulan Mei 1998. Gedung mewah itu baru berdiri 2010.
Lebih masuk ke dalam film, Anda akan menemukan wajah Singapura kiwari bukan di akhir 1990-an. Seolah Merry bukan naik pesawat terbang ke negerinya Lee Kuan Yew itu, melainkan terperosok ke mesin waktu lalu muncul di masa sekarang.
Advertisement
Cerita `Merry Riana`
Cerita `Merry Riana`
Sendirian tanpa sanak saudara (paman yang dibilang ayahnya tak ketahuan lagi alamatnya), Merry teringat punya teman SMA yang kuliah di Singapura. Namanya Irene (Kimberly Ryder). Merry mendatangi asrama tempat Irene tinggal, berniat ingin tinggal sebentar.
Namun, keberadaan Merry kemudian diketahui petugas keamanan. Satu-satunya cara agar dibolehkan tinggal di asrama, Merry harus terdaftar sebagai mahasiswi. Ia lalu mendaftar dan lolos tes. Persoalan baru datang: bagaimana membayar biaya kuliah?
Pihak universitas menyediakan biaya kuliah dengan sistem student loan, calon mahasiswa dipinjamkan uang untuk biaya kuliah dan ongkos hidup minimal yang harus dibayar. Besarnya 40 ribu dolar Singapura untuk kuliah empat tahun. Nah, sebelum dapat pinjaman, Merry harus menemukan dulu seorang guarantor alias penjamin utang-utangnya.
Irene mengenalkan Merry pada Alva (Dion Wiyoko) yang diminta sebagai guarantor. Alva bersedia. Tapi ada syaratnya. Merry harus membuktikan kalau ia bisa cari pekerjaan di Singapura.
Kita kemudian melihat Merry berlari lintang pukang ke sana-ke mari mencari pekerjaan. Tidak mudah mencari kerja di negeri orang bila tak punya izin kerja. Akhirnya, Merry dapat pekerjaan sebagai penyebar brosur di sebuah lembaga non profit.
Pekerjaan itu tak lama ia jalani. Polisi Singapura mengendusnya. Ia harus cari pekerjaan lain. Simpati atas kegigihan Merry, Alva membantunya mencari pekerjaan baru.
Dari sini hubungan Merry dan Alva kemudian berkembang tak sekadar teman. Alva menyukai Merry. Merry pun begitu. Namun, Merry tak bisa berbuat banyak karena Irene menyukai Alva. Ketika Irene mendapati Merry dan Alva berduaan, Merry diusir dari kamar Irene.
Advertisement
Rasa Lain `From Zero to Hero`
Rasa Lain `From Zero to Hero`
Film Merry Riana bisa jatuh menjadi kisah inspiratif perjuangan seseorang yang terpuruk lalu bangkit menggapai sukses macam kisah from zero to hero kebanyakan. Kisah semacam ini sudah banyak dibuat sibneas kita sejak sukses besar Laskar Pelangi di tahun 2008. Film itu mendatangkan 4,5 juta penonton, dan hingga kini tercatat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Setelahnya bertebaran film sejenis dengan variasi cerita masing-masing namun intinya sama: kisah from zero to hero. Saya senang MD Pictures dan sutradara Hestu Saputra (ikut membesut Cinta Tapi Beda dengan Hanung Bramantyo) tak tergoda membuat film macam begitu.
Walau diangkat dari buku Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, novel biografis kisah hidup Merry karya Alberthiene Indah, kisahnya tak semata bagaimana Merry meraih satu juta dolar di usia 26 tahun. Versi filmnya malah sedikit banyak mengingatkan saya pada film yang dibintangi Will Smith, The Pursuit of Happyness (2006). Film itu juga diangkat dari kisah biografis pialang saham sukses, Christopher Gardner. Namun, yang tersaji di layar dan membuat kita jatuh cinta pada kisahnya bukan tentang kisah Gardner meraih kesuksesan, tapi hubungan ayah-anak antara Gardner dengan putranya (dimainkan Jaden Smith).
Merry Riana versi film agaknya mengadopsi tradisi kisah yang dibangun The Pursuit of Happyness. Fokus Merry Riana pada hubungan cinta Merry dengan Alva. Kita melihat, di balik keteguhan perjuangan seorang Mery Riana, pada akhirnya, ia tak bisa menuju puncak sukses sendirian. Ada orang baik yang membantunya, yaitu Alva.
Kita melihat Alva rela melepaskan pekerjaannya agar Merry bisa tak menganggur. Kita juga melihat Alva menjadi penyeimbang dan penjaga moral bagi Merry agar tidak larut mengutamakan uang, uang, dan uang.
Chelsea Island dan Dion Wiyoko sudah menunjukkan chemistry yang baik. Mereka berhasil meyakinkan kita beginilah sebuah cinta ditunjukkan. Seperti pesan di akhir film ini: S.H.M.I.L.Y. atau see how much I love you… (Ade)