Liputan6.com, Jakarta- Reporter: Septian Deny, Nurseffi Dwi, Rio Apinino
Mata dunia kini tertuju pada pencarian korban pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 yang jatuh sekitar perairan Pangkalan Bun, Kalimantan.
Advertisement
Pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya pada Minggu, 28 Desember 2014, pukul 05.36 WIB. Pesawat tujuan Singapura yang membawa 155 penumpang dengan 7 awak pesawat itu hilang kontak sekitar pukul 06.17 WIB.
Upaya pencarian besar-besaran pun dilakukan. Pencarian dilakukan di wilayah Bangka Belitung di mana kontak terakhir dengan pesawat terjadi di sekitar lokasi tersebut.
Tiga hari kemudian, jejak pesawat AirAsia QZ8501 akhirnya diketahui berada di perairan sekitar Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Jejak kecelakaan makin nyata setelah Tim SAR gabungan menemukan serpihan dan jasad manusia diduga korban AirAsia QZ8501.
Hingga kini pencarian terus dilakukan, memasuki hari ke-8 pencarian yaitu Minggu, 4 Desember 2015, sudah 34 jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 berhasil ditemukan dan dievakuasi.
Ini merupakan insiden perdana yang dialami AirAsia sejak beroperasi 10 tahun di Indonesia. Kecelakaan ini juga menjadi tamparan keras bagi maskapai yang menjadi pelopor penerbangan berbiaya rendah di Indonesia itu.
Di luar insiden yang tengah terjadi, dari sisi bisnis kecelakaan yang dialami oleh pesawat AirAsia QZ8501 hanya akan berimbas negatif selama tiga minggu ke maskapai berwarna merah putih itu.
Salah satu alasannya adalah biaya penerbangan maskapai yang dimiliki Tony Fernandes ini terbilang sangat murah. Bahkan, Skytrax menobatkan AirAsia sebagai maskapai murah terbaik di dunia tahun 2014. Faktor inilah yang membuat tiket pesawat AirAsia bakal tetap diburu masyarakat meski pernah jatuh.
Berdirinya AirAsia
1. Now Everyone Can Fly
Dilansir dari situs resmi AirAsia, Fernandes membangun AirAsia berdasarkan impian untuk memungkinkan semua orang dapat menikmati layanan penerbangan. Dengan slogan 'Now Everyone Can Fly', saat ini jaringan rute AirAsia membentang di lebih dari 20 negara. Saat didirikan pada 2001, Fernandes ingin bertujuan untuk menyaingi Malaysia Airlines dan Qantas Australia.
AirAsia awalnya merupakan anak perusahaan yang dimiliki perusahaan DRB-HICOM, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manuraktur, properti serta konstruksi. Saat menjadi anak perusahaan, AirAsia terlilit utang yang sangat banyak.
Ketika Fernandes mengambilalih AirAsia tahun 2001, maskapai ini hanya memiliki 2 pesawat dan jutaan dolar utang. Fernandes yang tidak memiliki pengalaman dalam industri penerbangan kemudian membeli maskapai ini hanya dengan harga 1 Ringgit Malaysia atau sekitar Rp 3.600.
Namun dalam waktu yang singkat, Fernandes mengubah maskapai yang hampir bangkrut ini menjadi maskapai penerbangan termurah dengan layanan yang bisa bersaing dengan maskapai lain yang telah mapan sebelumnya seperti Malaysia Airlines.
Saat ini, dengan anak perusahaan seperti AirAsia Indonesia dan Air Asia India, AirAsia membawa jutaan penumpang setiap tahunnya dengan lebih dari 80 tujuan. Air Asia kini tercatat sebagai maskapai penerbangan murah terbaik di dunia versi Skytrax selama enam tahun berturut-turut.
Keberhasilan membawa AirAsia ke puncak secara otomatis juga membuat pemasukan Fernandes berlipat berkali lipat. Menurut data yang dimiliki Forbes, sampai Februari 2014 Fernandes telah mengumpulkan kekayaan sebanyak US$ 650 juta atau sekitar Rp 8 triliun (kurs: Rp 12.422/US$). Total kekayaan ini mengantarkan Fernandes manjadi orang nomor 28 terkaya di Malaysia.
Advertisement
Kapan Indonesia AirAsia berdiri?
2. Kapan Indonesia AirAsia berdiri?
Indonesia AirAsia didirikan pada September 1999 dengan nama Air Wagon International atau PT AWAIR International oleh Abdurrahman Wahid yang memiliki 40 persen saham. Namun, pada tahun yang sama Pria yang akrab disapa Gusdur itu melepaskan AWAIR International saat terpilih menjadi presiden Republik Indonesia.
Maskapai ini memulai penerbangan berjadwal ke beberapa kota di Indonesia pada tahun 2000, yang kemudian diikuti pembukaan penerbangan ke luar negeri (Singapura). Persaingan yang ketat di sektor penerbangan di Indonesia membuat AWAIR menghentikan operasinya sekitar setahun kemudian.
Pada 2004, AWAIR diambil alih AirAsia, dan mengalihkan orientasi pasarnya ke penerbangan berbiaya rendah. Penerbangan pertamanya dimulai pada Desember 2014. Mulai 1 Desember 2005, AWAIR berganti nama menjadi PT Indonesia AirAsia.
Pemegang saham
3. Siapa pemegang saham Indonesia AirAsia?
AirAsia kini tengah menjadi sorotan di berbagai media tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain terkait jatuhnya salah satu pesawat milik maskapai tersebut saat melakukan penerbangan dari Surabaya ke Singapura
Tak hanya soal insiden tersebut, kepemilikan maskapai yang berkantor pusat di Kuala Lumpur, Malaysia itu pun menjadi sorotan. Nama yang tengah disebut menjadi salah satu pemegang saham AirAsia yaitu pedagang minyak kelas kakap di Indonesia yaitu Muhamad Riza Chalid.
Saat dikonfirmasi soal nama pengusaha tersebut, Communication Manager AirAsia Indonesia Audrey Progastama Petriny enggan menjawab secara pasti terkait hal ini.
Menurutnya, saat ini saham AirAsia Indonesia 51 persennya dimiliki oleh PT Fersindo Nusaperkasa dan 49 persen oleh AirAsia Internasional Limited. "Jadi komposisi kepemilikan Indonesia 51 persen, sedang 49 persennya Air Asia Internasional Limited. Pokoknya yang sekarang ini komposisinya seperti itu," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com.
Berdasarkan hasil penelusuran Liputan6.com, nama Muhamad Riza Chalid pernah muncul di berbagai media massa nasional dan internasional sebagai pemegang saham dari Fersindo.
Dilansir dari Bloomberg, nama Riza muncul saat AirAsia Berhad bersama dengan rekan usaha PT Fersindo Nusaperkasa mengumumkan Batavia Air pada 17 Juli 2012. Saat itu Muhamad Riza Chalid menilai akusisi terhadap Batavia Air sebagai aksi korporasi yang kurang tepat karena terlalu berisiko.
"Tapi kami akan terus mendukung penuh pertumbuhan AirAsia di Indonesia," ujar Riza kala itu.
Advertisement
Berdampak 3 minggu
Kecelakaan yang dialami oleh pesawat milik AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 dinilai tidak akan berdampak jangka panjang pada bisnis penerbangan milik maskapai yang berkantor pusat Kuala Lumpur, Malaysia tersebut.
Pengamat Transportasi Udara, Arista Atmadjati mengakui, peristiwa ini akan menurunkan tingkat kepercayaan calon penumpang terhadap maskapai dengan dominasi warna merah ini. Namun hal tersebut diperkirakan hanya berlangsung maksimal hingga 3 minggu ke depan.
"Pengaruhnya paling jangka pendek ke maskapai, paling 2 minggu hingga 3 minggu saja," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurutnya, hal ini karena sifat masyarakat Indonesia yang dinilai cepat lupa terhadap insiden semacam ini. Selain itu, jika AirAsia berani memberikan harga promosi yang lebih murah dari penerbangan Low Cost Carrier (LCC) lain, diyakini para penumpang akan kembali tertarik gunakan jasa penerbangan maskapai ini.
"Ya karena orang Indonesia kan cepat lupa, apalagi kalau nanti harganya ditawarkan jauh lebih murah lagi," lanjutnya.
Selain itu, insiden ini juga dinilai tidak akan mempengaruhi dunia penerbangan nasional. Pasalnya moda transportasi udara ini sudah menjadi pilihan favorit masyarakat dalam melakukan perjalanan, terutama untuk jarak jauh.
"Pengaruh ke penerbangan nasional sih tidak. Ya paling ke AirAsia itu sendiri saja, itu pun hanya dalam jangka waktu pendek saja terjadi penurunan jumlah penumpangnya," tandas dia. (Dny/Rio/Ndw)