Ketika Penyelam AirAsia Antisipasi Dekompresi dengan Cara Manual

Sampai saat ini, para penyelam belum ada yang terkena dekompresi. Meski demikian, antisipasi terhadap dekompresi itu sudah dilakukan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 06 Jan 2015, 20:48 WIB
Para penyelam berkoordinasi sebelum melakukan penyelaman untuk mencari dan mengevakuasi para korban pesawat AirAsia QZ8501. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menyelam ke dasar laut tak semudah yang dibayangkan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Dan, dekompresi adalah hal yang paling ditakuti penyelam. Tak terkecuali oleh Tim Penyelam TNI Angkatan Laut (AL) dalam misi pencarian dan evakuasi pesawat AirAsia QZ8501.

‎Dekompresi atau decompression sickness merupakan keadaan medis di mana akumulasi nitrogen dalam tubuh selama menyelam menggelembung dan menyumbat aliran darah serta sistem syaraf. Keadaan seperti stroke itu yang sangat mematikan dan ditakuti penyelam.

Kepala Dinas Penyelaman Air Armada Wilayah Barat (Armabar) TNI AL Letnan Kolonel Laut Teknik Ferdi Hendarto Susilo mengatakan, para penyelam ‎dalam misi operasi militer bukan perang atau military operation other the war (MOOT) ini sudah mendapat pelatihan dasar mengenai antisipasi dekompresi ini. Meski ada alat khusus untuk menetralisir nitrogen setelah menyelam ketika kena dekompresi. Alat itu bernama chamber.

"Chamber ini cuma dipakai‎ pas keadaan darurat saja untuk mengembalikan kondisi penyelam sehabis menyelam kalau kena dekompresi," ujar Ferdi di Posko Utama Lanud Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Selasa (6/1/2015).

Sampai saat ini, para penyelam belum ada yang terkena dekompresi. Meski demikian, antisipasi terhadap dekompresi itu sudah dilakukan sedari awal.

Selain mendatangkan chamber dari Rumah Sakit AL di Jakarta, TNI AL punya cara tersendiri untuk mengantisipasi dekompresi secara manual. Cara itu yang sudah diajarkan oleh para penyelam TNI AL saat pelatihan dasar‎ penyelaman.

Cara Manual Atasi Dekompresi


Cara Manual Atasi Dekompresi

Cara Manual Atasi Dekompresi

‎Salah satu cara manualnya adalah dengan menggunakan tali tambang sampai ke dasar laut. Tali itu sudah dibuat beberapa simpul sebagai tanda kedalaman air bagi si penyelam. Sebelum menyelam, penyelam juga sudah di-briefing untuk mengetahui di simpul mana dia harus berhenti beberapa menit. Mengingat penyelam tidak bisa langsung menyelam ke dasar laut.

Karenanya, dengan berhenti di simpul tertentu itu, si penyelam dapat mengatur ritme penyelaman. Begitu juga ketika naik, aturan tersebut harus dilakukan. Sebab, jika tidak, si penyelam bisa terkena dekompresi.

Para supervisi telah memiliki table mengenai aturan kapan dan di kedalaman mana si penyelam harus berhenti. Pun juga berapa lama yang diperlukan ketika berhenti di kedalaman tertentu itu, para supervisi ini sudah memiliki catatannya. Semua itu dijelaskan supervisi kepada para penyelam sebelum turun ke dalam air.

Komandan Tim Penyelam ‎TNI AL Kapten Laut Pelaut Edi Tirtayasa mengatakan, para penyelam juga tidak bisa menyelam kembali sebelum 12 jam. Sebab, resiko menyelam kembali kurang dari 12 jam juga dapat menyebabkan dekompresi.

"Makanya, kalau repetitive dive (penyelaman berulang) si penyelam harus dimasukkan ke chamber. Tujuannya untuk menetralisir kadar nitrogen pada tubuh secara cepat setelah menyelam pertama," kata Edi.

Edi mengatakan, cara manual antisipasi dekompresi itu yang digunakan TNI AL dalam semua kegiatan operasi militer. Meski memiliki chamber, cara manual itu tetap digunakan. Terutama ketika kondisi dasar laut penuh lumpur dan berkeruh dengan daya penglihatan atau visibility 0 meter.

Dengan keadaan seperti itu, para penyelam tidak dapat melihat karena jarak penglihatan yang terbatas‎. Dalam keadaan dasar laut normal saja, komunikasi antarpenyelam menggunakan bahasa tubuh. Apalagi dengan kondisi berlumpur dan keruh, maka satu-satunya cara adalah memakai tali tambang yang sudah dibuat simpul itu. Dengan memegang dan menghitung simpul, penyelam sudah tahu dia berada di kedalaman berapa meter.

"Makanya, penyelam pertama itu pasti membawa tali dengan simpul-simpul itu. Dengan visibility 0 meter, kita tidak bisa melihat, makanya meraba-raba. Kalau ada tali dan dia hitung simpul itu, dia tahu lagi di kedalaman berapa meter. Sekaligus dia harus tahu di simpul mana dia harus stop beberapa menit," ujar dia.

Waspadai Hewan Buas di Laut


Waspadai Hewan Buas di Laut

Waspadai Hewan Buas di Laut

‎Selain dekompresi, saat menyelam juga ada hal lain yang mesti diwaspadai penyelam. Di antaranya gangguan pendengaran, gangguan sinus, dan masker yang tidak boleh sangat terlalu kencang.

"Gangguan pendengaran itu bisa bikin darah keluar dari telinga. Terus di wajah kita ini kan punya 5 lubang sinus, itu bisa bikin kepala pusing dan mengalami halusinasi. Masker, kalau kekencangan bisa bikin bola mata keluar," ujar Edi.

Di samping hal-hal tersebut, para penyelam juga patut mewaspadai hal lain. Dalam hal ini hewan buas laut. ikan ‎hiu, benang laut, ular laut, ikan pari adalah beberapa di antara hewan yang sangat berbahaya yang mesti dihindari para penyelam.

Bagi Edi, benang laut dan ular laut yang sangat-sangat diwaspadai. Sebab, kedua biota laut itu sama mematikan dengan predator laut lainnya.

"Benang laut itu kan tipis-tipis, di dalam air tentu tidak terlihat. Itu kalau kena kulit dan masuk ke kulit, kulit bisa terbakar. Terus ular laut, itu sekali gigit, racunnya kurang dari 1 menit mematikan," kata Edi. (Mvi/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya