Liputan6.com, New York - Sepanjang 2014, tak satu orang pun tercatat tewas dalam rangkaian penerbangan komersil Amerika Serikat. Semua itu berkat flight delay (penundaan jadwal penerbangan) yang biasa dilakukan sepanjang tiga jam guna mencegah para pilot terbang ke tengah badai yang berbahaya.
Sayangnya, Indonesia memiliki kisah yang berbeda di bisnis penerbangan, dengan jatuhnya pesawat AirAsia bernomor penerbangan QZ8501 dari Surabaya menuju Singapura pada Minggu, 28 Desember 2014.
Advertisement
Mengutip laman The Daily Beast, Rabu (7/1/2014), editor konsultan senior di bidang aviasi Conde Nast Traveler, Clive Irving menyarankan para penumpang pesawat agar tak lagi kesal saat terjadi delay pada penerbangan masing-masing.
"Anda harus bersyukur jika terjadi delay atau pembatalan penerbangan, karena itu merupakan bagian dari rezim keamanan penerbangan yang bisa menyelamatkan nyawa Anda," ungkap Irving.
Dia menjelaskan, penundaan atau pembatalan jadwal penerbangan bisa jadi merupakan cara untuk menyelamatkan penumpang dari cuaca buruk yang bisa kapan saja membunuh seisi pesawat. Menurutnya, di era sekarang, cuaca buruk seharusnya tidak lagi menjadi penyebab kecelakaan pada maskapai komersil.
Itu pula yang kemudian menimbulkan tanda tanya mengenai apakah manajemen Indonesia AirAsia telah menjalankan prosedur penerbangan yang seharusnya. Irving juga merasa heran mengingat tak ada prediksi cuaca buruk padahal pesawat baru terbang kurang dari satu jam sebelum akhirnya kecelakaan tragis terjadi.
Sejumlah pakar penerbangan di dunia bahkan merasa kecelakaan tersebut seharusnya bisa dihindari. Pasalnya, pesawat tak akan tiba-tiba mendapat izin terbang mengingat semua slot keberangkatan dan kedatangan pesawat harus disiapkan beberapa bulan sebelumnya.
Penulis buku Wide-Body: The Triumph of the 747 tersebut juga mengungkapkan penyesalan atas terjadinya kecelakaan yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501 tersebut. (Sis/Ndw)