Liputan6.com, Banjarnegara - Tragedi longsor 12 Desember 2014 lalu di Banjarnegara, Jawa Tengah menyisakan kenangan pahit. Lebih dari 100 orang tewas. Pergerakan tanah dahsyat yang sampai merenggut korban jiwa itu ternyata dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Tanaman kubis yang baru saja tumbuh di lahan seluas 1 hektare di kawasan Telaga Lele, Banjarnegara dipastikan gagal panen. Pergeseran tanah membuat lahan perkebunan itu ambles di beberapa titik dengan penurunan 5 sampai 10 meter. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya pun menjadi korban, tumbang satu demi satu.
Advertisement
Akibatnya, cekungan memanjang dengan lebar hampir 10 meter mirip seperti sungai dengan mata air baru, terbentuk dengan sendirinya.
Fenomena alam ini memang bukan tanpa alasan. Curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini membuat pergerakan tanah tak terbendung.
Cuaca ekstrem dengan curahan air dari langit yang begitu besar di musim hujan di tahun ini bukan hanya berdampak pada lahan pertanian, tetapi juga menyasar ke permukiman warga.
Contohnya adalah tembok salah satu rumah warga mengalami retak-retak yang cukup hebat. Bahkan fondasi dasar rumah terus mengalami penurunan hingga kini. Amblesan rumah mencapai 10 centimeter, sebuah hitungan angka cukup cepat dalam kurun waktu 3 bulan terakhir.
Aktivitas pergerakan tanah memang tak bisa disepelekan. Tragedi memilukan terjadi di Kabupaten Banjarnegara 12 Desember 2014 lalu. Hanya dalam hitungan menit, sedikitnya 40 rumah dan 108 jiwa yang tinggal di Dusun Jemblung, Kecamatan Karangkobar tersapu oleh ganasnya tanah longsor. Puluhan ribu meter kubik material tanah mengubur semua yang ada di jalur luncurannya.
Dengan menggunakan air bertekanan tinggi yang disemprotkan ke tumpukan tanah, Tim SAR gabungan yang dibantu relawan mencari korban-korban yang tertimbun longsoran. Alat-alat berat juga ikut dikerahkan untuk membuka jalan yang terputus akibat timbunan longsor.
Wilayah Banjarnegara termasuk wilayah yang berada di daerah dataran tinggi. Luas sekitar 1 juta km persegi, separuh lebih atau 65 persennya berada di ketinggian 100 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut.
Kerusakan permanen akibat gerakan tanah di rumah warga tidak melulu karena faktor curah hujan yang tinggi. Munculnya kolam-kolam kecil buatan warga yang tak dibuat secara standar dengan lapisan semen membuat air cenderung meresap ke dalam tanah.
Artinya, tanah menjadi gembur dan rentan longsor. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat menjadi penyumbang adanya perubahan fungsi lahan yang tak sesuai. Peristiwa longsor yang terjadi membekaskan kenangan pahit, utamanya warga yang menjadi korban.
Sosialisasi maupun ketersediaan jalur evakuasi dan lokasi aman untuk perlindungan warga dari ancaman bencana masih terasa kurang. Hal itu disebabkan peta rawan bencana di setiap kecamatan belum terarsip dengan baik.
Banyaknya lahan subur yang dimanfaatkan warga sebagai tanah pertanian maupun perkebunan menjadi salah satu faktor penghambat warga mau direlokasi.
Kasus tanah longsor rutin terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Aktivitas pergerakan tanah menjadi bencana yang paling mematikan sepanjang tahun 2014.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2014 terjadi 385 kasus tanah longsor. Lebih dari 300 orang meninggal dunia, ratusan rumah rusak, dan menyebabkan lebih dari 13.000 orang mengungsi.
Adanya kerentanan pergerakan tanah di Indonesia menyebabkan pemerintah bertindak lewat BNPB menginstruksikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyebar puluhan alat deteksi dini di beberapa kota Jawa Tengah dan Jawa Barat yang dinilai berbahaya.
Salah satu di antaranya berlokasi di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Alat yang dinamai ekstensometer itu dipercaya mampu merekam pergerakan tanah sebagai langkah antisipasi dini terjadinya longsor.
Pemasangan alat peringatan dini yang tertanam di beberapa titik lokasi rawan bencana longsor setidaknya menjadi instrumen penting dalam mengurangi jumlah jatuhnya korban akibat tanah longsor.
Tetapi kita sebagai masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, harusnya bisa peka terhadap perubahan alam. Jadi, hal yang tak kalah penting adalah bagaimana agar kejadian serupa yang memakan banyak jiwa tak terulang kembali.
Anda penasaran ingin tahu bagaimana bencana tanah longsor di Banjarnegara ini bisa terjadi? Saksikan selengkapnya seperti yang ditayangkan Sigi Investigasi SCTV, Sabtu (17/1/2015), di bawah ini. (Vra/Ans)