Liputan6.com, Jakarta - "Dorrr.." Suara tembakan bersamaan terdengar dari dalam Markas Komando (Mako) Brigade Mobil (Brimob) Subden 3 Detasemen C Gunung Kendil, Boyolali, Jawa Tengah. Tembakan itu diduga tanda eksekusi mati telah dilaksanakan regu penembak terhadap terpidana mati kasus narkoba, Tran Thi Bich Hanh.
Warga sekitar mengaku kaget mendengar suara tembakan yang meletus pada Minggu 17 Januari 2015 pukul 00.46 WIB itu. "Suara tembakannya terdengar serempak. Suaranya sangat keras sekali," ujar salah satu warga, Irfandi.
Boyolali menjadi salah satu lokasi eksekusi terhadap terpidana mati wanita asal Vietnam. Pada waktu yang sama, ada 5 terpidana mati kasus narkoba lainnya yang dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Mereka adalah Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (warga Belanda).
Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan eksekusi enam terpidana mati itu telah dilakukan. Ia menyatakan eksekusi di kedua tempat berbeda hanya berjalan sedikit lebih lambat seperti direncanakan.
"Di Nusakambangan untuk 5 terpidana mati dieksekusi pukul 00.30 WIB dan 00.40 WIB dipastikan telah meninggal dunia. Sedangkan di Boyolali eksekusi pukul 00.46 WIB," ujar Jaksa Agung Prasetyo kepada Liputan6.com saat dihubungi, Minggu dini hari
Eksekusi mati terhadap 6 terpidana ini 'menyulut emosi' Brasil dan Belanda. Dua negara itu menilai hukuman mati merupakan bentuk kekejaman dan bisa 'merusak' hubungan antarnegara. Keduanya mengambil sikap menarik dubes di Jakarta sebagai protes terhadap eksekusi mati yang dikenakan terhadap 2 warga negaranya.
Indonesia tak ambil pusing dengan penarikan duta besar itu. Kemlu RI menghormati sikap kedua negara tersebut. Hal ini dinilainya sebagai hak dari negara bersangkutan. Namun begitu, pemerintah Indonesia berjanji akan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat ini.
"Indonesia akan terus berupaya meningkatkan hubungan bilateral dengan negara negara sahabat," ujar bicara Kemenlu Arrmatha Nasir kepada Liputan6.com di Jakarta.
Tetap Laksanakan
Kendati menyisakan protes, hukuman mati akan tetap dilaksanakan di Indonesia. Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, eksekusi mati tersebut merupakan tindakan hukum positif di Indonesia
"Eksekusi pidana mati bukan menggembirakan, ini memprihatinkan, tapi tetap harus dilaksanakan. Hukum harus dilaksanakan. Putusan Jaksa laksanakan putusan yang memiliki hukum tetap," ujar Prasetyo.
Sikap ini merupakan wujud ketegasan pemerintah Indonesia bahwa tak ada kompromi dengan pelaku jaringan, sindikat, dan bandar narkotika. Namun begitu, ketegasan ini tetap berjalan pada proses yang telah ditentukan. Eksekusi mati menjadi proses akhir dari penanganan perkara.
"Semua hak diberikan (kepada terpidana sebagai) wujud dari perlakuan kita pada mereka, bahwa sisi kemanusiaan tetap diperhatikan dan dijunjung tinggi, termasuk permintaan terakhir terpidana mati sudah dipenuhi seluruhnya," ujar Prasetyo.
Ketegasan serupa juga disampaikan Presiden Joko Widodo. Dalam akun Facebook miliknya, presiden yang biasa disapa Jokowi ini menyatakan negara berperang melawan mafia narkoba.
"Perang terhadap Mafia Narkoba tidak boleh setengah-setengah, karena Narkoba benar-benar sudah merusak kehidupan baik kehidupan penggunanya maupun kehidupan keluarga pengguna narkoba," tulis Jokowi dalam laman Facebook-nya, Minggu 18 Januari 2015.
Jokowi mengungkapkan dampak dari narkoba tersebut. Menurut dia, tak ada kebahagiaan hidup yang didapat dari menyalahgunakan Narkoba.
"Negara harus hadir dan langsung bertempur melawan sindikat Narkoba," tegas Jokowi.
Tunggu Giliran
Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan eksekusi mati terhadap 6 terpidana kasus narkoba merupakan proses perjalanan terakhir atas perbuatan yang sudah dilakukan masing-masing terpidana. Pemerintah tak ada kompromi terhadap narkoba.
"Wujud dari sikap tegas pemerintah Indonesia bahwa kita tak ada kompromi dengan pelaku jaringan, sindikat, dan bandar narkotika ini," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Minggu (18/1/2015).
Dia pun mengimbau semua kalangan agar turut aktif mencegah peredaran narkoba. Menurut Prasetyo, pengedaran narkotika termasuk kategori kejahatan luar biasa. Sehingga harus ditangani dengan luar biasa juga.
"Memang ada yang belum yakin betapa ini harus kita lakukan, seiring dengan berjalannya waktu, apa yang dilakukan ini tidak keliru. Banyak dukungan warga masyarakat atas penanganan perkara narkotika ini, walau masih ada yang belum paham ini demi kepentingan kita bersama," tutur dia.
Kejaksaan, tegas dia, tidak akan surut untuk menuntut hukuman maksimal pada pelaku kejahatan narkotika, khususnya para pengedar, pengimpor dan bandar. "Dituntut seberat-beratnya," ucap Prasetyo.
Karena itu, kejaksaan memastikan akan kembali mengeksekusi mati terpidana lainnya yang masuk dalam daftar tunggu. Namun hal itu dilaksanakan setelah masalah hukumnya selesai. "Semua segera dilaksanakan," tegas HM Prasetyo.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut ada sekitar 66 terpidana mati kasus narkotika yang sedang menunggu jadwal untuk dieksekusi. Dari jumlah itu, 39 orang merupakan warga negara asing (WNA) dan sisanya warga negara Indonesia.
Terpidana WNA didominasi dari Afrika dan Asia, dengan jumlah terbanyak pemegang paspor Nigeria dan Malaysia, masing-masing enam orang.
Hasil riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia menunjukkan angka prevalensi pengguna narkoba usia 10-59 tahun mencapai 2,32 persen pada 2012. Angka itu dari tahun ke tahun terus meningkat bahkan pada 2015 diperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,8 juta jiwa.
Eksekusi mati ini diharapkan akan membuat jera para pelaku narkoba. Dengan begitu, laju grafik penggunaan barang haram di Indonesia akan merosot dan diharapkan akan terhenti. Anak bangsa pun dapat merajut masa depannya dengan tenang.
"Indonesia Sehat, Indonesia tanpa Narkoba....."
Advertisement
(Ali/Ans)