MK Tentukan Nasib Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPRD

MK akan mengucap putusan 2 perkara uji materi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

oleh Oscar Ferri diperbarui 22 Jan 2015, 16:18 WIB
Gedung MK

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengucap putusan 2 perkara uji materi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dua perkara itu diajukan 2 Pemohon berbeda.

Staf Humas MK Fitri Yuliana mengatakan, ‎Pemohon pertama mempermasalahkan Pasal 327 ayat 2 dan 3 a quo. Para Pemohon, yakni Jimmi Wilbadus, Yucundianus, dan Jefri Unbununaek yang merupakan anggota DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) itu merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya pasal a quo tersebut.

"Pemohon menjelaskan bahwa proses pengisian dan pengangkatan alat kelengkapan DPRD telah menghilangkan hak-hak konstitusionalnya," ucap Fitri, Kamis (22/1/2015).

Sebab, lanjut Fitri, Pasal 327 ayat 2 UU MD3 mengatur mekanisme pimpinan atau Ketua DPRD berasal dari partai pemenang. Ketentuan tersebut menurut Pemohon menyebabkan partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPRD secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR.

Fitri menjelaskan, selain itu ketentuan mengenai proses pengisian dan penempatan pimpinan DPRD‎ menurut Pemohon juga tidak mengakomodasi kepentingan hukum mereka.

"Akibat ketentuan tersebut, Pemohon menjadi kehilangan kesempatan untuk ikut dalam proses pemilihan alat kelengkapan DPR. Pemohon menilai hal itu dikarenakan Pasal 327 ayat 2 dengan tegas telah menghilangkan kesempatan Pemohon," ucap Fitri.

Pemohon, lanjut Fitri, juga menilai, ketentuan dalam Pasal 327 ayat 2 juga tidak sejalan dengan ketentuan pengisian alat kelengkapan di tingkat pusat, yaitu DPR. Di DPR menggunakan sistem paket untuk memberikan kewenangan kepada perorangan sebagai anggota DPR untuk dapat memilih dan dipilih.

Dengan perbedaan mekanisme pengisian alat kelengkapan DPRD dengan DPR tersebut, menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum. "Pemohon menilai bahwa rumusan Pasal 327 ayat 2 dan 3 adalah rumusan pasal yang menerapkan standar ganda dalam hukum. Sehingga membuat ketidakselarasan hukum juga melahirkan diskriminasi kewenangan dan menciderai demokrasi," ucap Fitri.

Sementara Pemohon kedua, yang mempermasalahkan Pasal 327 ayat 1 huruf a, menilai bahwa pasal itu mengandung sifat multitafsir dan tid‎ak mengakomodasi keadaan yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. Sebab, menurut Pemohon jumlah anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta periode 2009-2014 sebanyak 106 orang dan seharusnya berpengaruh terhadap susunan serta kedudukan dari pimpinan dewan di DPRD DKI Jakarta.

"Pemohon menilai, seharusnya terdapat penambahan satu Wakil Ketua DPRD‎ DKI Jakarta, dari empat wakil ketua menjadi lima wakil ketua, mengikuti jumlah anggota dewan yang ada saat ini," jelas Fitri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya