Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: Artikel ini mungkin mengandung spoiler atau bocoran cerita film The Imitation Game.
"Mesin yang indah, yang bukan hanya bisa memanipulasi angka-angka, tetapi juga mampu menciptakan musik dan mengolah kata,"
Advertisement
—Ada Lovelace (1815-1852), dikutip dari Walter Isaacson, The Innovators: How a Group of Hackers, Geniuses, and Geeks Created the Digital Revolution (2014)—
Sebagan besar dari kita tentu bisa menjawab ketika ada yang bertanya: Siapa penemu telepon? Siapa penemu mesin uap? Atau, siapa penemu lampu pijar listrik? Jawabannya masing-masing adalah: Alexander Graham Bell, James Watt, dan Thomas Alva Edison.
Namun, saat ditanya siapa penemu komputer, banyak yang tak tahu jawabannya. Setelah menonton film ini, The Imitation Game, kita mungkin bakal menjawab, komputer ditemukan oleh Alan Turing.
Siapakah Alan Turing? Saya akan membahasnya di bawah.
Yang ingin saya bahas terlebih dahulu adalah, ada alasannya kenapa kita tak tahu persis siapa penemu komputer. Sebab, pada hakikatnya, tidak ada penemu tunggal semacam Alexander Graham Bell, James Watt, Edison, atau Guglielmo Marconi si penemu radio, dalam proses penciptaan benda yang kini kita anggap salah satu barang paling penting peradaban manusia modern itu.
Tahun lalu terbit buku bagus yang ditulis Walter Isaacson, mantan pemimpin redaksi majalah Time yang juga menulis biografi Einstein dan Steve Jobs. Judulnya The Innovators: How a Group of Hackers, Geniuses, and Geeks Created the Digital Revolution. Tesis utama yang disodorkan Isaacson adalah, revolusi digital yang sedang kita alami hari ini pada dasarnya adalah proses evolusioner yang melibatkan berbagai penemu berikut pencapaian-pencapaian mereka.
Komputer modern dan jejaring Internet berasal dari sekian banyak temuan sebelumnya: mesin hitung mekanik, pemrograman, transistor, chip, peranti lunak, antarmuka grafis, dan macam-macam lagi. Cerita Isaacson di bukunya atas penciptaan komputer modern bahkan merentang hingga ke kisah Ada Lovelace, ahli matematika yang sudah mengangankan sebuah mesin “yang tak hanya bisa memanipulasi angka-angka, tetapi juga mampu menciptakan music dan mengolah kata.” Ada menyebutnya "sebuah mesin yang indah."
Dengan memahami tesis utama Walter Isaacson di atas, bagaimana kita kemudian mendudukkan Alan Turing. Benarkah ia penemu komputer?
Halaman 2
Well, Turing tak menciptakan komputer sebagaimana Thomas Alva Edison menciptakan lampu pijar listrik. Filmnya sendiri hanya menyebut lewat tulisan penutup di akhir film, mesin yang dibuat Turing di kemudian hari kita sebut dengan nama "Komputer." Dan, tentu saja, "komputer" buatan Turing berbeda betul dengan komputer di meja kerja Anda, ataupun yang saya pakai menulis ulasan ini.
Pada titik ini, sepatutnya kita paham, alasan film ini menyebut Alan Turing (diperankan Benedict Cumberbatch lewat akting pria yang membuatnya layak jadi calon peraih Oscar tahun ini) sebagai penemu komputer. Tujuannya bukan hendak mengaburkan fakta sejarah bahwa komputer, tidak seperti telepon atau radio, adalah proses kerja kolaboratif banyak orang dari berbagai generasi hingga mewujud sebagaimana hari ini kita pakai. Sekali lagi tidak.
Yang hendak ditekankan sineasnya, sutradara Morten Tyldum dan penulis skenario Graham Moore (dari buku Andrew Hodges) adalah kisah tragis hidup Alan Turing. Penyederhanaan sosoknya sebagai penemu komputer tujuannya satu: agar efek ironisme-nya kian terasa.
***
Di rak buku saya ada buku lain: The 100 Greatest Inventions yang ditulis Tom Philbin (edisi terjemahan Indonesia, 2003). Setelah Philbin menyebut “roda” di daftar nomor wahid penemuan terbesar manusia sepanjang masa (peringkat dua, bohlam; ketiga, mesin cetak; keempat, telepon; kelima, televisi), pada urutan ke-19, ia menyebut benda bernama “Komputer Colossus”. Di situ saya pertama kali berkenalan dengan Alan Turing.
"Banyak orang tidak tahu siapa Alan Mathison Turing, tetapi pengaruhnya dalam kehidupan kita sangat mendalam,” demikian Philbin memulai ulasannya.
Kontribusinya yang besar terjadi saat Perang Dunia II berkecamuk. Turing direkrut militer Inggris bersama beberapa ahli lain untuk memecahkan sandi yang dikirim NAZI Jerman lewat alat bernama Enigma. Alat ini berisi kode perintah penyerangan dari markas NAZI berikut lalu lintas tentara Jerman. Setiap hari kode yang dikirim mesin Enigma berbeda. Tugas Turing untuk memecahkannya.
Namun, seperti diperlihatkan di film, alih-alih membuat hitung-hitungan untuk memecahkan kode Enigma, Turing justru membangun mesin pemecah kode yang bisa bekerja otomatis.
Upayanya berhasil. Kode sandi mesin Enigma berhasil ia pecahkan dengan mesin komputer bernama Colossus.
Sejarawan banyak sepakat, memecahkan mesin kode Enigma memperpendek Perang Dunia II selama dua atau tiga tahun yang artinya, jutaan nyawa terselamatkan. Mengutip sejarawan Sir Harry Hinsley, Philbin menulis, jika Enigma tak dipecahkan, invasi Sekutu ke Eropa terjadi 1946 atau 1947, bukan 6 Juni 1944. Tanpa Enigma dipecahkan, Amerika mungkin sekali akan menyapu Jerman dengan bom atom. Sementara itu, upaya Jerman mengembangkan rudal—yang bisa diisi senjata kimia atau biologis--untuk menyerang Inggris juga berhasil.
Advertisement
Halaman 3
Semua mimpi buruk itu tak terjadi berkat jasa Alan Turing memecahkan kode Enigma. Seharusnya, Turing dielu-elukan bak pahlawan, sebuah patung dirinya sepatutnya berdiri di pusat kota London. Namun, tidak, di zaman setelah perang, status orientasi seksualnya (Turing seorang homoseksual) dipermasalahkan.
Di masa lalu di Inggris, menjadi seorang homosekual adalah kejahatan. Pilihannya masuk penjara atau mengkonsumsi obat-obatan yang dipercaya bisa mengubah hormon menjadi heteroseksual, penyuka lain jenis.
Alan Turing terpaksa memilih mengosumsi obat-obatan. Namun, akibat depresi mendalam, di usia yang masih tergolong muda, 42 tahun, Turing mengolesi apel dengan racun sianida dan menyantapnya. Ia mengakhiri hidupnya sendiri hari itu, 9 Juni 1954.
***
Tidak ada adegan Alan Turing bunuh diri di film The Imitation Game. Dan memang tak perlu.
Kita sudah cukup melihat penderitaannya sepanjang film. Sewaktu masih sekolah, ia jadi korban bullying; saat bekerja untuk militer ia bukan sosok yang disukai atasan maupun rekan kerja; saat pasca perang, statusnya sebagai homoseksual ketahuan dan membawanya harus dihukum. Hanya sebentar kita melihatnya bahagia, antara lain saat bertemu pria yang ia cintai ketika masih sekolah dan saat berhasil memecahkan kode Enigma.
Dengan memperlihatkan hidup Alan Turing yang tragis, kita, penonton diajak untuk tak menilai orang dari orientasi seksualnya. Kehilangan sosok secemerlang dia adalah sebuah kehilangan besar. Bersamanya mati juga kepandaiannya yang amat sangat maupun apa hal hebat lain yang mungkin ia sumbangkan bagi kemanusiaan.
Setelah menonton The Imitation Game, kita sepatutnya mensejajarkan nama Alan Turing bersama ilmuwan hebat lain di masa lalu seperti James Watt, Alexander Graham Bell, Guglielmo Marconi, dan Thomas Alva Edison.(Ade/Feb)