Liputan6.com, Jayapura - Siapa yang tak pernah merasakan kelezatan cokelat? Baik cokelat berbentuk batangan, minuman, dan sejumlah produk turunannya sangat digemari berbagai lapisan usia di segala penjuru dunia.
Mengutip Wikipedia, sekitar 4.000 tahun lampau, cokelat dianggap sebagai makanan kelas menengah ke atas. Dalam bahasa Yunani, 'Theos' artinya dewa dan 'Broma' berarti santapan, Theobroma diartikan sebagai 'santapan para dewa'. Tak mengherankan bila sejak dahulu kala tanaman kakao (Theobroma cacao L) menjadi salah satu komoditas unggulan di dunia.
Di Indonesia, tanaman kakao diperkenalkan oleh Spanyol pada 1560 di Minahasa, Sulawesi Utara. Sementara di Papua, tanaman ini dibawa oleh Belanda pada 1955 dan ditanam di beberapa daerah di Papua, termasuk di Kabupaten Jayapura.
Baca Juga
Advertisement
Berbicara soal kualitas, biji kakao Papua tergolong sangat baik. Menurut peneliti asal Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Drs I Made Budi, M.Si, biji kakao Papua di atas kualitas biji kakao yang dikembangkan di wilayah lain di Indonesia.
"Rendemen (persentase produk yang dihasilkan dibanding dengan bahan baku yang terolah) biji kakao Papua misalnya bisa mencapai 30-35%," ungkap Budi ketika disambangi Liputan6.com di kediamannya di Kota Jayapura, beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, sebanyak 100 kg biji kakao Papua dapat menghasilkan sekitar 30-35 kilogram cocoa butter atau lemak kakao. "Produk kakao paling bernilai adalah lemak kakao. Sebab bisa diolah menjadi berbagai produk turunan mulai dari makanan sampai kosmetika," papar Budi.
Sementara biji kakao dari wilayah lain di Indonesia hanya bisa menghasilkan antara 20-25 kilogram lemak kakao. Inilah yang membuat staf pengajar di Fakultas MIPA Uncen tersebut turut membantu petani kakao di Kabupaten Jayapura membudidayakan tanaman penghasil cokelat yang oleh orang Yunani disebut 'santapan para dewa'.
Ia pun sangat mendukung program peningkatan kemampuan budidaya bagi para petani kakao oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura bekerja sama dengan Oxfam, lembaga bantuan internasional yang bekerja mendukung kesejahteraan petani kecil.
Dalam proyek restorasi perkebunan kakao di Kabupaten Jayapura, Papua, Oxfam mendukung peningkatan kesejahteraan petani kecil. Oxfam adalah konfenderasi 17 organisasi yang bekerja di hampir 100 negara di dunia, berupaya menghapuskan kemiskinan.
"Itu merupakan suatu hal sangat bagus," ucap Budi.
Mesin Sederhana Pengolah Kakao >>>
Mesin Sederhana Pengolah Kakao
Mesin Sederhana Pengolah Kakao
Kakao memang menjadi komoditas unggulan di Papua. Namun, menurut Budi, produk kakao sebenarnya dapat ditingkatkan lagi pada level industri. Dengan kata lain, petani tidak hanya menjual biji kakao, tapi juga produk olahan.
"Selama ini kakao dinilai sebagai produk untuk kelas atas, petani kakao Papua menanam kakao, tapi tidak pernah menikmati produk cokelat yang memiliki kandungan gizi yang tinggi bisa mencegah penyakit degeneratif," urai Budi.
Tak sekadar harapan, sejak 2008, Budi yang sudah 30 tahun sebagai dosen di FMIPA Uncen melakukan riset independen. Ia belajar sepenuhnya melalui internet untuk membuat campuran cokelat. Hingga akhirnya ia memberanikan diri memesan cetakan cokelat dari Belgia.
Boleh dikatakan, rumah I Made Budi ibarat laboratorium. Kini ada sekitar 5-6 mesin diciptakan yang contohnya dipelajari dari situs YouTube.
Ia bereksperimen membuat campuran cokelat. Budi bahkan belajar membuat mesin pengolahan cokelat. Semua mesin bahkan dirakit sendiri dan terus diperbaiki.
"Saya ini dosen dan akademisi, masa saya cuma bisa mengajar saja tapi tidak praktik? Saya ingin bereksperimen menggabungkan teknologi dengan bahan baku yang ada, ini lebih karena hobi dan ingin tahu. Mahasiswa saya juga bisa ikut praktik di sini," tutur Budi yang mempunyai latar belakang pendidikan Jurusan Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) dan pengetahuan terhadap mikrobiologi.
Budi yang telah mengajar sekitar 30 tahun di Uncen ini berharap mesin-mesin sederhana tersebut dapat diduplikasi para perajin kakao untuk bisa menghasilkan produk olahan kakao di Papua.
Menurut Budi, modal yang dibutuhkan untuk membuat mesin-mesin tersebut mencapai Rp 300 juta. Namun bila dibandingkan di Eropa, harga tersebut terbilang murah. Sebab, mesin canggih pengolahan produk kakao mencapai belasan miliar rupiah.
Ia mengklaim mesin-mesin sederhana hasil inovasinya dapat mengolah biji kakao sekitar 300 kilogram dalam satu minggu. "Investasi sebesar itu bisa kembali modal hanya dalam 6 bulan."
I Made Budi berharap produk kakao juga bisa diproduksi dalam skala kecil dan dinikmati oleh masyarakat kalangan bawah, terutama di Papua. Artinya, selain menghasilkan biji kakao, Papua dapat memproduksi cokelat sendiri. (Ans/Yus)
Advertisement