Di Zimbabwe, Tisu Toilet Pernah Dijual Seharga Rp 1,87 Miliar

Rakyat Zimbabwe pernah mengalami masa perekonomian terburuk saat tisu toilet bahkan terasa seperti barang mewah

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 03 Feb 2015, 23:15 WIB
Foto: mises.co.za

Liputan6.com, Harare Dalam kondisi normal, sebagian besar masyarakat dapat memperoleh kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau. Namun rakyat Zimbabwe pernah mengalami masa perekonomian terburuk saat tisu toilet bahkan terasa seperti barang mewah karena harganya yang melambung sangat tinggi.

Lantaran tingkat inflasi yang terlampau tinggi, harga satu rol tisu toilet di Zimbabwe pernah dibanderol seharga US$ 145.750 atau Rp 1,87 miliar (kurs: Rp 12.657/US$). Seperti barang lain, harga tisu toilet terus berlipat ganda dari hari ke hari.

Tanda-tanda terjadinya hiperinflasi atau inflasi gila-gilaan di Zimbabwe sebenarnya sudah terbaca sejak 2000-2001 saat Presiden Zimbabwe Robert Mugabe kala itu gagal mengatasi penurunan pertumbuhan ekonomi. Defisit anggaran yang terus membengkak membuat pemerintah Zimbabwe kelimpungan memperbaiki sistem perekonomiannya.

Sebagian besar anggaran nasional bahkan telah terkuras habis sejak 2006. Sementara pemerintah terus menerus keliru mengambil solusi untuk membenahi perekonomian nasionalnya saat itu.

Berikut ulasan mengenai hiperinflasi yang terjadi di Zimbabwe pada 2007 hingga 2008 seperti dilansir dari New York Times, Business Insider, dan Cato.org, Selasa (3/2/2015):


Kasus hiperinflasi pertama di abad 21

Foto: Business Insider

Kasus hiperinflasi pertama di abad 21

Zimbabwe merupakan negara pertama di abad ke-21 yang mengalami hiperinflasi. Pada Februari 2007, tingkat inflasi Zimbabwe mencapai 50 persen per bulan dan menandakan negara tersebut telah mengalami hiperinflasi (50 peren per bulan setara dengan 12.875 per tahun).

Sejak saat itu, inflasi di Zimbabwe terus meningkat. Setiap harinya, tingkat inflasi di Zimbabwe dapat mencapai rata-rata 98 persen dan terjadi sejak Maret 2007 hingga November 2008.

Bayangkan saja, harga-harga barang di Zimbabwe naik dua kali lipat setiap 25 jam. Tak heran, Zimbabwe menjadi negara dengan pengalaman hiperinflasi terparah setelah Hungaria.


Pemerintah terus cetak uang

Foto: Reuters

Pemerintah terus cetak uang

Sejak 2005, pemerintah Zimbabwe mencetak triliunan uang baru untuk menjaga berbagai kementeriannya tetap berfungsi dan meningkatkan gaji para pendukung Presiden Mugabe. Dia juga berusaha menyuap musuh politiknya dengan uang yang baru dicetak tersebut.

Pemerintah bahkan menaikkan gaji 190 ribu guru dan tentara hingga tiga kali lipat. Sayangnya, dengan gaji tinggi dan uang melimpah, para pegawai pemerintah tetap gagal mengatasi inflasi yang terus meningkat.

Keputusan pemerintah untuk terus mencetak uang hanya akan memperburuk inflasi yang terjadi tapi tetap dilakukan. Alhasil, Zimbabwe terkurung dalam jeratan hiperinflasi yang terus melonjak parah tak terkendali.

Pemerintah mengaku telah mencetak uang sebesar 21 triliun dolar Zimbabwe hanya dalam hitungan bulan. Alasannya uang tersebut digunakan untuk membayar utang pada Amerika Serikat.


Tisu toilet jadi barang mewah

Foto: Business Insider

Tisu toilet jadi barang mewah

Lantaran hiperinflasi yang melanda Zimbabwe, harga-harga melambung tak terhingga. Bahkan satu gulung tisu toilet dijual dengan harga miliaran rupiah.

Sementara harga mentega, roti dan daging melambung tinggi setara barang-barang mewah. Harga barang bahkan bisa naik hingga 1.000 persen per tahun, tingkat inflasi yang biasanya muncul di zona perang.

Alhasil, uang bergelimpangan di tengah masyarakat, tapi harga makanan yang melonjak terlalu tajam membuat kalangan menengah ke bawah tak sanggup membelinya. Harga makanan kala itu terlalu tinggi, bahkan orang yang memegang uang miliaran rupiah tetap bisa merasa kelaparan. (Sis/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya