Liputan6.com, Solo - Yoshua Henry Hanafi, pria asal Solo ini tak pernah membayangkan akan menjadi pengusaha batik hingga sekarang. Maklum saja, setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN di Yogyakarta pada 1999, Henry keberatan ketika diminta sang Ibu untuk berdagang tekstil dan garmen yang merupakan usaha milik keluarga.
“Passion saya tidak di situ. Jadi selepas kuliah saya memilih berjalan-jalan ke negara tetangga, Malaysia dan meninggalkan Solo. Lumayan lama, tiga bulan,” kenang Hanafi.
Namun, siapa sangka setelah berada di Malaysia tepatnya di kota Kelantan, Trengganu, dan Kota Bharuitulah dan melihat beragam corak batik yang terpampang digerai-gerai pinggir jalan malah memunculkan rasa ketertarikan Henry. Kecintaannya terhadap batik semakin kuat setelah Henry menyadari bahwa batik yang merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia itu wajib dilestarikan dan diperkenalkan secara luas.
Tidak lama setelah itu Henry kembali ke Tanah Air dan mulai serius belajar tentang batik, terutama dalam hal permainan warna, corak atau motif maupun pola batik. Henry lalu memutuskan untuk mulai berusaha di bidang batik dan menjual tekstil handprint produksi UKM yang ada di Solo.
Namun sayang, tekstil yang disukai oleh pasar saat itu memiliki corak dan warna yang kurang disukai Henry. Maklumlah, kala itu motif dan warna tekstil batik belum beranekaragam seperti saat ini.
Memasuki tahun 2008, kondisi persaingan dalam bisnis batik semakin ketat dan usaha yang digeluti Henry mulai goyang. Pasalnya, para pedagang di Jakarta menilai kualitas batik produksi Solo kurang disukai oleh pasar atau konsumen di Jakarta. Sehingga permintaan akan produk yang dijualnya pun semakin menurun.
Terbentur dengan kondisi itu, usaha yang dikelola Henry menjadi stagnan, bahkan dia sempat patah arang berbisnis batik ketika produknya gagal di pasaran. Beberapa motif tekstil batik yang dijualnya tidak laku hingga Henry harus keliling ke berbagai daerah untuk mendapatkan pelanggan.
Bukan pengusaha namanya jika tidak bermental baja dan mudah menyerah pada kompetisi yang ketat. Henry pun memberanikan diri mencoba terobosan baru dengan mengorder tekstil ke beberapa pabrik tekstil di Solo, seperti Sritex, Dan Liris dan Sekar Bengawan, yang sudah memiliki nama besar sebagai produsen tekstil berkualitas. Di antaranya memiliki kualitas rotary dan flat machine print.
Berkat upaya yang gigih, dia mendapat banyak pelanggan baru, sehingga akhirnya mampu membuka dua toko yang diberi nama Melina di kawasan Beteng Trade Center (BTC) di Jalan Mayor Sunaryo No.2, Solo.
“Berkat Tuhan, respons pasar cenderung cepat dan positif,” ucap pria penggemar makan seafood.
Advertisement
Selanjutnya...
‘Teman Kepercayaan’ Henry Dalam Berbisnis
Untuk menjawab tantangan pasar, Henry menggandeng desainer dari Jakarta dan Solo untuk menciptakan motif dan warna kombinasi baru dari perpaduan beberapa batik daerah di Indonesia. Karena kecintaannya pada alam, budaya serta hal-hal terkait Indonesia Timur, Henry pun memodifikasi motif kain tradisional dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Papua.
Bahkan, banyak tesktil batik yang trendy atau fashionable dengan sentuhan warna-warna modern seperti scotchlite, dan lime green dikembangkannya.
“Pada 2000 sampai 2008 adalah masa yang sulit, karena saat itu permintaan terhadap batik menurun drastis, karena itu saya berpikir untuk menciptakan batik dengan konsep baru dan segar,” tutur Henry putra bungsu dari tiga bersaudara.
Tekstil batik modern dengan konsep baru itu dapat diterima semua kalangan dengan harga yang relatif terjangkau, mulai Rp 16 ribu per meter.
Selain mengekspor kain putih ke Malaysia, untuk memperluas pangsa pasar, Henry pun menjual pakaian jadi dengan harga bervariasi tergantung dari jenis batik yang digunakannya.
Sebuah show room ready to wear bernama 'Hadassah n Khos’n' juga dibuka di Hotel Paragon and Residence Solo yang menyediakan kain serta pakaian jadi berbahan batik dari beragam corak khas daerah di Indonesia, termasuk batik tulis asli Solo dan kain tenun khas Indonesia Timur.
Pria yang gemar melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Indonesia Timur ini bercita-cita ingin mengembangkan usahanya ke seluruh Nusantara. Tak berlebihan rasanya karena kini Toko Melina sudah mendistribusikan tekstil batik ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua.
Dengan dukungan 100 orang karyawan, Henry berharap produk tekstil batik-nya yang diberi brand Ecclesia, Cinta Pertama dan ACINDO (Aku Cinta Indonesia) dapat masuk ke pasar mancanegara.
Selain keuletan dan kepiawaian dalam mengelola bisnis juga dibutuhkan kepercayaan. Demi kelancaran bisnis tekstil dan batiknya, Henry menjadikan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) sebagai ‘Teman Kepercayaan’ dalam berdagang.
Alasannya karena kemudahan transaksi yang diberikan BCA. Menurut Henry, transaksi pembayaran dari pelanggannya sebanyak 50% menggunakan fasilitas BCA seperti Debit BCA, Kartu Kredit BCA dan transfer melalui Klik BCA.
BCA Senantiasa di Sisi Anda.
(Adv)
Advertisement