Liputan6.com, Jakarta Semangat tak kenal menyerah dan keinginan untuk berbagi ilmu kepada banyak orang kembali dilakukan Refdinal Castera S.Pd, seorang guru sekolah dasar (SD) di Padang, Sumatera Barat. Hal itu terbukti dengan terbitnya novel trilogi berjudul “Satu Huruf di Mesin Tik”, novel keduanya setelah novel “Meniti Buih Menerobos Tantangan” terbit tahun lalu. Kedua novel itu diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.
Terbitnya novel “Satu Huruf di Mesin Tik” itu semakin memperkokoh kemauan bahwa guru tidak hanya mampu beraktivitas di hadapan siswa di depan kelas, tapi juga mampu berbagi ilmu dan manfaat kepada siapa saja, termasuk berkeliling dunia lewat karya-karyanya.Irzen Hawer, seorang guru dan novelis Sumatera Barat ikut memberikan apresiasi atas terbitnya novel Refdinal Castera itu. Menurutnya, seorang guru tetaplah guru. Tak sebatas di kelas, kini lewat penanya, guru telah menjadi milik semua orang.
Advertisement
Refdinal Castera yang merupakan guru SD Negeri 28 Padang Sarai, Koto Tangah Kota Padang itu, selain fokus menulis novel juga pernah menjadi wartawan di sejumlah media di Kota Padang. Ia juga penulis lepas di beberapa media massa, baik lokal dan nasional. Novel “Satu Huruf di Mesin Tik” berkisah tentang kehidupan seorang guru muda honorer yang telah jenuh dengan pekerjaannya. Walau telah berbagai sekolah ia mengajar, predikat yang disandang tersebut tak pernah berubah. Tetap guru honorer, tak lebih dari itu.
Tapi, kejenuhan itu dihalaunya dengan tekad untuk berubah. Berbekal modal gemar membaca dan senang menulis diari, ia sulap isi diarinya itu ke bentuk cerpen, puisi, essai dan berbagai artikel serta mengirimnya ke koran. Awalnya dia menulis dengan tulisan tangan, kemudian mesin tik manual pinjaman dari tetangga. Sekitar 6 bulan menunggu, tulisan demi tulisan dikirim plus dengan penolakan redaktur, akhirnya dimuat dan terus dimuat, sehingga mesin tik tersebut bisa dibeli dengan honor tulisan yang diterima.
Novel ini berlatar Kota Padang dan Jakarta. Bumi Ibu Kota yang penuh dengan impian didatangi si tokoh utama untuk mengubah nasib. Kota tersebut memang indah, tapi keindahan impian itu tak selalu jadi kenyataan. “Ini Jakarta, Bung! Kejamnya ibu tiri, tak sekejam Ibu Kota,” demikian salah satu bagian di novel itu. (rel)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini