Hakim Tolak Permintaan Tanggapan Tim Kuasa Hukum KPK

Tim kuasa hukum KPK menilai ada perbedaan dari sidang praperadilan untuk agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 12 Feb 2015, 03:33 WIB
Sidang lanjutan praperadilan BG kembali digelar di PN Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015). Empat saksi ahli dihadirkan, Prof I Gede Panca Astawa, Prof Romli Atmasasmita, DR Margarito, dan Dr Chairul Huda (kiri ke kanan). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Tim kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai ada perbedaan dari sidang praperadilan untuk agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Terkait proses pembuktian, dalam proses hukum acara yang pernah kami alami di persidangan KPK sebelumnya, ini sangat berbeda," kata kuasa hukum KPK, Chatarina Muliana Girsang kepada hakim Sarpin Rizaldi sesaat sebelum sidang berakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015).

Perbedaan itu dirasakannya karena tak ada kesempatan bagi pihaknya untuk memberikan tanggapan atas bukti yang diajukan oleh pemohon. Sebab banyak bukti yang menurut pihak KPK tidak relevan.

"Kami ingin bertanya, apakah ada ruang bagi kami untuk memberikan tanggapan atas bukti yang diajukan pemohon baik secara lisan ataupun tertulis. Demikian juga kami ingin pengadilan memberikan waktu bagi pemohon untuk menanggapi jawaban dari kami," ucap Chatarina.

Sementara itu, hakim tunggal yang memimpin jalannya sidang, Sarpin Rizaldi menolak tim kuasa hukum KPK selaku pihak termohon mengajukan tanggapan baik secara tertulis maupun lisan atas bukti-bukti yang dihadirkan pihak Komjen Budi Gunawan (BG).

"Bukti-bukti yang diajukan pemohon atau termohon tidak perlu ditanggapi karena menjadi pertimbangan dalam putusan. Bukti relevan atau tidak hakim yang menilai," kata Hakim Sarpin.

KPK Dinilai Boleh Punya Penyidik Independen

Sementara itu, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita bersaksi dalam sidang praperadilan Budi Gunawan versus KPK. Salah satu kuasa hukum Budi Gunawan, Maqdir Ismail, menanyakan apakah penyidik KPK harus berasal dari kepolisian atau tidak. Hal ini terkait latar belakang Romli yang menjadi salah satu penyusun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Waktu draf soal itu kami bahas, kami mengajukan KPK harus memiliki penyidik sendiri. Namun diskusi pun berjalan, kalau penyidiknya sendiri kapan kerjanya? Penyidik itu membutuhkan waktu lama," jawab Romli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015).

Akhirnya, menurut Romli, disepakati untuk menyertakan penyidik dari Polri dan penuntut umum dari Kejaksaan Agung. Hanya saja, yang ditugaskan sebagai penyidik di KPK harus dibebastugaskan terlebih dahulu dari institusi asal dan diangkat melalui Surat Keputusan (SK) oleh pimpinan KPK.

Ia mengatakan bahwa KPK berhak mengangkat penyidik di luar Polri. Hal itu berdasarkan Pasal 45 UU yang menyebut 'penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK'.

"Kalau KPK membentuk penyidik independen, harus ada sertifikat dari Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM," ujar Romli.

Status penyidik di KPK dipertanyakan oleh pihak Budi Gunawan setelah mengetahui bahwa ada penyidik yang menangani perkara korupsi kliennya, bukan berasal dari Polri. Penyidik itu sendiri telah keluar dari Polri dan menjadi penyidik di KPK.

Pihak BG menganggap status tersangka yang dikeluarkan penyidik tersebut tidak sah secara hukum. Meski demikian, alasan tersebut tidak dimasukkan ke dalam dalil praperadilan Budi Gunawan melawan KPK. (Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya