Liputan6.com, Jakarta - Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrohman Syahuri mengatakan, pihaknya tidak memiliki wewenang penuh dalam pemilihan hakim agung. Ada banyak pihak dan aspek yang akan menguji calon hakim agung.
"KY hanya mendapatkan porsi sepertiga dari penilaian. Dua pertiganya dari penilaian lain. Jika dua pertiga itu menyatakan tidak lulus, ya KY tidak berhak meluluskan," ujar Taufiqurrohman dalam diskusi di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, Kamis 12 Februari 2015.
Taufiqurrohman menjelaskan, calon hakim akan diuji 10 mantan hakim agung dan 4 tenaga ahli. Dalam seleksi awal, KY tidak mengetahui nama calon untuk menjaga objektivitas seleksi.
"Hal tersebut untuk menghindari kemungkinan nepotisme jika kita tahu nama calon hakim agung dari awal seleksi," tambah dia.
Setelah seleksi awal dilakukan, tahapan selanjutnya akan melibatkan sejumlah pihak. Seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ombudsman untuk melihat rekam jejak seorang hakim agung.
"Nantinya akan bekerja sama dengan lembaga lainnya dalam tahap selanjutnya seperti KPK, PPATK, dan Ombudsman untuk melihat rekam jejak, dan ini menjadi tahapan yang penting melihat kualitas seorang hakim agung," pungkas Taufiq.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Mas'ud Halim mengkritik proses rekrutmen hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial selama ini.
"Ini soal rekrutmen hakim agung, ternyata yang dipilih-pilih oleh KY bukan orang yang baik. Hakim-hakim karier yang dipilih KY ternyata kena masalah. Yang baik-baik malah tidak terpilih," kata Mas'ud dalam Rapat Kerja Kunjungan Komisi III DPR dengan 4 Lingkungan Peradilan se-Wilayah Provinsi DKI Jakarta di Kantor PT DKI Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa 23 Desember 2014.
Mas'ud menilai para hakim tinggi menjadi pesimis untuk mendaftarkan diri menjadi calon hakim agung. Sebab penentuan siapa yang terpilih jadi hakim agung hanya berdasarkan 'selera' para komisioner KY. (Mvi/Sss)
Advertisement