Pengawasan Impor Pakaian Bekas Tak Perlu Tunggu Perpres

Pembenahan juga harus dilakukan dari sisi mental masyarakat Indonesia yang masih suka membeli pakaian bekas.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Feb 2015, 08:15 WIB
Kemendag telah merampungkan hasil uji laboratorium yang dilakukan pada 25 sampel pakaian bekas dari Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Liputan6.com, Jakarta - Para pengusaha tekstil nasional meminta agar pemerintah segera mengambil langkah yang nyata untuk mengawasi impor pakaian bekas. Pasalnya, selain merugikan pengusaha tekstil, maraknya impor pakaian bekas ini juga merugikan masyarakat.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, pengawasan ketat terhadap masuknya pakaian bekas ke Indonesia seharusnya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai tanpa harus menunggu adanya payung hukum seperti Peraturan Presiden (Perpres).

‪"Mengenai belum adanya Perpres untuk menindak pedagang pakaian bekas, Bea Cukai harusnya bisa bertindak dari sumbernya. Maka tidak akan ada lagi barang masuk tanpa harus menunggu Perpres," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Minggu (15/2/2015).

Selain itu menurut dia, pembenahan juga harus dilakukan dari sisi mental masyarakat Indonesia yang masih suka membeli pakaian bekas, terlebih yang berasal dari negara lain. Hal ini dinilai telah menjatuhkan martabat bangsa.

"‪Yang jadi acuan adalah kebiasaan dari masyarakat kita menggunakan pakaian bekas. Itu adalah suatu budaya yang kurang bagus karena harkat dan martabat kita direndahkan negara lain," kata dia.

Pakaian-pakaian bekas tersebut, lanjut Ade, akan menjadi sumber penyakit jika tidak terus dibiarkan diperjualbelikan. Pasalnya selama ini pakaian bekas tersebut tidak memiliki asal usul yang jelas.

"Kemudian kita juga tidak mengerti asal usul pakaian bekas itu dari mana. Sehingga itu berbahaya bila pakaian bekas itu menyebarkan penyakit, virus atau bakteri," tandasnya.

Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel mengungkapkan, pemerintah akan menertibkan perdagangan pakaian bekas impor. Pasalnya, setelah diteliti. pakaian bekas tersebut mengandung banyak bakteri dan jamur yang membahayakan kesehatan, misalnya bakteri E.coli yang bisa menyebabkan gangguan pencernaan.

Selain itu, perdagangan pakaian bekas juga berpotensi mematikan usaha garmen lokal. Sebab, harga pakaian bekas lebih miring dibanding dengan harga baju yang diproduksi oleh industri garmen lokal.

Namun, langkah penertiban tersebut tak kunjung jalan karena belum ada aturan yang melandasinya. Kementerian Perdagangan menunggu peraturan Presiden yang melarang perdagangan pakaian bekas.

"Kami menunggu peraturan Presiden sebagai tindak lanjut perdagangan," Direktur Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan, Widodo.

Langkah menunggu aturan tersebut karena selama ini aturan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan hanya berupa peraturan menteri, yang sifatnya hanya meminta pedagang untuk tidak menjual pakaian bekas.

"Sekarang, sifatnya masih meminta mereka yang tidak punya badan izin usaha, yang memperdagangkan baju bekas impor bekas, berhenti berdagang," kata Widodo. (Dny/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya