Liputan6.com, Jakarta - Hujan deras dini hari itu membuat istirahat Pak Gubernur tidak tenang. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 WIB. Buru-buru dia mengecek pantauan kamera closed-circuit television (CCTV) dari rumahnya.
CCTV di Pintu Air Istiqlal mati. Perasaan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resah. Dia curiga kawasan Istana terendam.
Advertisement
Tak lama berselang, firasatnya segera terbukti.
Senin 9 Februari 2015, Ibukota kembali banjir. Balaikota DKI Jakarta kebanjiran. Pun dengan Istana Kepresidenan yang terletak di antara Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Medan Merdeka Barat, tak luput dari genangan air dengan ketinggian hingga mencapai 50 cm.
Kawasan Jakarta Utara menjadi kawasan paling parah terkena dampak banjir, setelah hujan deras mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak Minggu 8 Februari.
Air terus naik di permukaan jalan, sementara hujan masih enggan berhenti. Macet di mana-mana, kendaraan mogok karena mencoba menembus pekatnya air banjir, Bus Transjakarta pun berhenti operasi. Rel kereta api terendam, perjalanan pun diperpendek. Akibatnya, banyak yang tak jadi berangkat kerja. Aktivitas warga Jakarta lumpuh.
Sebelum musim hujan datang, Ahok dan para bawahannya sudah melakukan antisipasi. Sejumlah sungai dan waduk sudah dikeruk, sehingga bisa menampung air hujan. Namun, tak semua di bawah kendalinya.
Pompa air, misalnya, tak berfungsi secara maksimal di saat yang paling diharapkan. Ahok kesal berat karena Perusahaan Listrik Negara (PLN) mematikan aliran listrik di Waduk Pluit, sehingga pompa air di wilayah Jakarta Utara mati dan tidak bisa menyedot air banjir.
Sebab, kata dia, tidak mungkin, pompa air bekerja terus-menerus selama 24 jam. Maka dari itu, misalnya dari 6 pompa air yang ada, 3 dulu yang difungsikan. Terus lalu diistirahatkan dan diganti pompa lainnya.
“Jangan sampai seluruhnya tidak beroperasi memompa air. Apalagi di bagian Utara Jakarta itu sudah semakin turun tanahnya, sudah lebih rendah dari permukaan laut. Jadi nggak bisa air langsung ngalir ke laut. Harus kita pompa,” kata Ahok.
Ahok mengatakan, Pemprov DKI Jakarta telah memiliki rencana untuk pengendalian banjir Jakarta pada 2016. Di antaranya pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir seperti membangun waduk, drainase, sumur resapan, memperbanyak pintu air, tanggul, waduk, serta normalisasi sungai.
Dia mengatakan, pada tahun ini, pihaknya akan menyelesaikan tanggul sepanjang 52 kilometer, investornya, bekerja sama dengan BUMN. Pompa-pompa air juga akan dipasang hingga 2-3 tahun ke depan
“Nah cluster kecil kita mau selesaikan. Jaga pompa tetap berfungsi, saluran air ditertibkan dari sampah dan kabel segala macam. Normalisasi sungai sama waduk kita tetap jalan,” kata dia.
Ahok mengakui, normalisasi sungai dan waduk masih terkendala pembebasan tanah. Dia juga mengatakan, DKI berkoordinasi dengan daerah-daerah mitra seperti Tangerang, dan lainnya untuk membangun infrastruktur penanggulangan banjir seperti sodetan atau waduk.
Ahok berharap, warga Jakarta bisa bekerja sama dengan pemerintah menanggulangi banjir. Misalnya dengan membantu memelihara dan menjaga infrastruktur penangggulangan banjir.
“Paling sederhana saja dulu, tidak buang sampah sembarangan misalnya. Sadar lingkungan lah. Tidak tinggal di pinggiran waduk atau sungai. Drainasenya dijaga dari sampah. Pintu air juga. Tidak asal bangun gedung di daerah resapan juga,” ucap Ahok.
Ahok menuturkan, pada saat menjadi wakil gubernur ataupun kini menjabat menjadi gubernur DKI Jakarta sama-sama pusing menghadapi banjir Jakarta.
“Kita pusingnya sekarang ada beberapa yang tidak bisa kita kontrol kan. Contohnya, tanggul jebol di Kali Sunter. Itu kan PU pusat jebolin. Masih banyak yang lain. Tapi ya sama saja sih pusingnya,” ujar Ahok.
Dia mengatakan, banjir 2013 menjadi pengalaman pertamanya menangani banjir di Jakarta bersama Presiden Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.
Waktu itu, dia menyusuri perumahan yang terendam dan meminta penghuninya keluar rumah dan ke tempat pengungsian. Akan tetapi, banyak yang memilih bertahan di rumah. Alasannya, takut kehilangan harta benda.
“Saya panik kenapa? Saya khawatir sekali kalau penuh air, tanggul Pluit roboh. Kalau ada pasang terus ada air. Itu warga di situ kan hampir 15 ribu rumah, itu tsunami kecil bisa mati mereka. Makanya saya panik mau pindahin mereka. Saya panik, takut (warga) mati. Mungkin ada bayi segala macam kan,” kata Ahok.
Selanjutnya: Jurus Jakarta Tangani Banjir...
Jurus Jakarta Tangani Banjir
Jurus Jakarta Tangani Banjir
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono mengatakan, ada beberapa jurus untuk menangani banjir di Ibukota.
“Pertama berdoa. Kedua, koordinasi dengan daerah penyangga masih terkendala masalah pembebasan tanah di Waduk Ciawi. Kemudian antisipasi, menjaga pompa-pompa supaya tetap beroperasi, kondisi darurat kita siapkan karung pasir, kalau air di utara sudah tinggi kita hadang dengan karung pasir itu,” kata dia.
Agus mengatakan, Dinas PU mengandalkan pompa air agar banjir di Jakarta lekas surut. Sebab, akan terlalu lama bila menunggu penyelesaikan infrastruktur penanganan banjir secara keseluruhan,seperti normalisasi sungai, pembangunan tanggul, waduk, dan lainnya. Apalagi 40 persen di wilayah utara Jakarta turun atau lebih rendah dari permukaan air laut.
Agus mengatakan, di bagian selatan Jakarta, akan ditambah sumur resapan, supaya air hujan meresap ke tanah, bukan mengalir ke saluran jalan atau ke laut. Dinas PU juga akan membebaskan danau, supaya air hujan mengalir ke danau, ditahan, dan diresapkan.
Dia menerangkan, seluruh tanah Jakarta tertutup bangunan. Sehingga, 80 persen air hujan tidak terserap tanah dan lari ke jalan atau mengalir ke arah laut.
“Jadi jangan kita buang air ke laut buanglah di halaman kita. Manakala musim kering bisa kita ambil lagi pakai sumur. Kalau dibuang ke laut kan kering kita,” tegas Agus.
Dia mengatakan, tingginya pengambilan air melalui sumur bor di Jakarta Utara juga menyebabkan tanah di wilayah tersebut menurun. Akibatnya, air laut menjadi limpas. Air yang dipompa pun tidak berguna karena kembali lagi.
Di Kelapa Gading Barat, Pemprov DKI Jakarta akan memasang 3 pompa air supaya bisa mengeringkan daerah tersebut bila banjir. Tanggul Kali Sunter juga sedang dibangun untuk mencegah limpasan air laut.
“Jakarta Utara konsepnya bukan sumur resapan karena daerahnya rendah. Itu untuk menangani banjirnya kita harus polder, cluster lah. Jadi terisolasi dalam arti tidak ada air masuk, kita pompa. Jadi dia hanya dapat menampung air hujan saja,” kata dia.
Agus mengatakan, banjir di Istana Merdeka Jakarta disebabkan PLN mematikan suplai daya ke pompa Waduk Pluit. Dengan padamnya listrik, pompa tidak bisa difungsikan secara bersamaan, sementara hujan terus turun.
“Pak Gubernur sudah menyampaikan ke PLN untuk tidak mematikan daya ke pompa. Karena pompa itu vital. Manakala dimatikan ya nanti menyebabkan banjir tidak bisa disedot,” kata dia.
Agus mengatakan, listrik tidak boleh padam karena sistem pengendalian banjir utamanya menggunakan pompa. Dia juga mengatakan, Ahok tidak setuju dengan solusi PLN untuk menggunakan kabel udara. Menurut Ahok, kabel di bawah tanah lebih tahan.
“Kalau kabel udara, misalnya ada pohon tumbang, putus. Kalau bawah tanah kan aman sebetulnya. Nah yang tidak aman manakala ada arus bocor. Itu bisa membahayakan jiwa. Jadi solusinya apa? Gardu utamanya jangan sampai kerendam. Kan sambungannya di gardu. Kalau kabelnya aman. Nggak ada masalah. Gardu ini kalau kena genangan rentan korslet,” kata dia.
Pemprov akan meminta kepada PLN agar meninggikan gardu listrik. Misalnya, tinggi gardu atas 3 meter dari ketinggian air laut. Sehingga, kalau ada air laut tinggi, gardu tidak mati dan kabel tanah aman.
“Yang penting sambungannya tidak bocor. Peninggian gardu ini dari PLN. Harusnya seluruh wilayah Jakarta, utamanya Jakarta Utara. Jadi ini listrik harus dijaga. Karena pompa pakai listrik,” terang dia
Pihak PLN menyatakan, pemadaman listrik kala banjir penting untuk menyelamatkan warga. General Manager Disjaya Hariyanto WS mengatakan, keputusan untuk mematikan pasokan listrik dari Penyulang Cakalang yang memasok aliran listrik untuk wilayah Muara Baru, Pluit dan sekitarnya, dilakukan untuk menyelamatkan para pelanggan PLN yang dialiri listrik tersebut.
"Kami matikan (pemadaman listrik) karena ada laporan dari masyarakat bahwa daerah Muara Baru ujung sudah terendam banjir. Nah, Jika tetap dinyalakan, maka masyarakat bisa tersengat listrik dan itu akan sangat membahayakan," ujar Hariyanto saat konferensi pers di Kantor PLN Disjaya, Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Rabu 11 Februari 2015 malam.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir juga mengatakan, keputusan untuk mematikan gardu listrik di wilayah Jakarta Utara sudah tepat. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya sengatan listrik saat terjadi banjir di kawasan tersebut.
"Suka tidak suka kami harus mematikan sementara listrik di kawasan tersebut. Kami harus mematikan aliran listrik di waduk pluit pinggirpantai dan gardu induk Muara Karang. Beliau (Ahok) saja yang tidak mengerti soal listrik," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 12 Februari 2015.
Solusi lain mengatasi banjir adalah dengan megaproyek Tanggul Garuda raksasa yang dulu dikenal dengan sebutan Giant Sea Wall.
Benteng raksasa itu bisa menjadi solusi untuk mengatasi banjir, apalagi genangan di wilayah pesisir biasanya merupakan banjir rob yang disebabkan oleh masuknya air laut ke daerah pesisir atau daratan. (Baca juga: Garuda Penangkal 'Banjir Abadi' Jakarta)
Atau, jika pesatnya pembangunan di Jakarta makin tak terbendung, tanpa mengindahkan faktor lingkungan dan tata ruang, solusi paripurna ini mungkin bisa dipertimbangkan: pindah ibukota.
Selanjutnya: Jakarta di Bawah Permukaan Air Laut...
Advertisement
Jakarta di Bawah Permukaan Air Laut
Jakarta di Bawah Permukaan Air Laut
Banjir memang sulit surut. Sebab, sejatinya sebagian wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan air laut.
Pakar Tata Ruang Kota Yayat Supriatna mengatakan, 40 persen atau 24 ribu hektare tanah di Jakarta berada di bawah permukaan air laut. Wilayah yang paling mengkhawatirkan adalah Jakarta Utara.
"Jakarta sudah mengalami penurunan tanah 40%. Dari 5 lima wilayah di Jakarta, Jakarta Utara yang paling mengkhawatirkan," ujar Yayat kepada Liputan6.com.
Karena itu, banjir di Jakarta perlu ditekan, terutama pada saat musim penghujan. Ada beberapa cara untuk menekannya.
"Cara-cara yang bisa dilakukan untuk mencegah banjir membuat kanal atau kolam-kolam penampung air. Kemudian menertibkan pemukiman warga di pinggir sungai. Memperbaiki sistem drainase karena ketinggian permukaan drainase berbeda-beda. Dan mengevaluasi izin mendirikan bangunan agar tidak mengacuhkan kaedah-kaedah tata letak kota," kata Yayat.
Yayat mengatakan, sampah juga turut andil dalam bencana banjir. Masyarakat harus sadar, dampak membuang sampah sembaranan akan menganggu saluran air sehingga terjadi banjir.
"Jadi banjir karena ulah manusia juga." Dia menambahkan, penurunan permukaan tanah juga disebabkan pemanfaatan air tanah yang berlebihan.
Pemprov DKI Jakarta menerapkan larangan tegas kepada warga Ibukota, khususnya pelaku industri, untuk tidak lagi mengambil air tanah secara berlebihan pada 2015. Hal itu sebagai upaya menangani penurunan permukaan tanah yang terjadi di Pantai Indah Kapuk (PIK), Penjaringan, Jakarta Utara.
Berdasarkan pemantauan oleh Pusat Air Tanah dan Teknologi Lingkungan Kementerian ESDM pada 2011-2012, dinyatakan kawasan PIK merupakan wilayah dengan penurunan permukaan paling tinggi di Jakarta yakni mencapai 9,89 sentimeter.
Selanjutnya: Curah Hujan Tertinggi Dalam 30 Tahun...
Curah Hujan Tertinggi Dalam 30 Tahun
Curah Hujan Tertinggi Dalam 30 Tahun
Faktor cuaca juga ikut andil memicu banjir. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, intensitas hujan di awal 2015 mencapai rekor puncaknya, yaitu pada 8 dan 9 Februari 2015. Hujan yang turun di wilayah Jakarta dan sekitarnya menyebabkan banjir.
Lebatnya hujan yang mengguyur Jabodetabek selama 2 hari tersebut berpusat di 2 wilayah utara Jakarta, yakni Tanjung Priok dan Kemayoran.
"Kemarin, hujan yang menyebabkan Jakarta banjir, berpusat di Jakarta Utara. Terutama Tanjung Priok mencapai puncak rekor. Sebelumnya tidak pernah terjadi curah hujan sampai 361 milimeter/hari di Tanjung Priok," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus Subagyo Swarinoto kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Hujan sepanjang hari tersebut di Jabodetabek juga karena hembusan angin yang menggerakan kumpulan awan dari Barat ke Timur.
"Pasang laut yang tinggi menyebabkan angin laut berembus kencang dari Barat ke Timur. Angin itu kemudian membawa awan hujan dari Barat ke Timur, hingga seluruh Jabodetabek diguyur hujan secara bergantian," imbuh Yunus.
Dia mengatakan, selama 30 tahun terakhir, banjir yang melanda ibukota Jakarta selalu terjadi pada Januari dan Februari. “Curah hujan di Tanjung Priok kemarin merupakan rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir yang mencapai 361 mm per hari,” kata dia.
Yunus memprediksi, hujan lebat masih berpotensi turun di seluruh wilayah Indonesia selama Februari, dan akan menurun secara alamiah, pada Maret atau menjelang musim kemarau.
Dia mengaku sudah menyampaikan prediksi BMKG kepada Pemda dan BNPB mengenai potensi hujan lebat yang mengguyur Jakarta kemarin.
“Saya sudah beberapa kali mengadakan rapat dengan DKI 1 dan BNPB kalau akan ada hujan lebat. Tapi mungkin dianggap hanya rapat biasa,” tandas Yunus Subagyo.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono juga mengatakan, banjir pada 9 Februari akibat hujan yang ekstrem. Berdasarkan evaluasi pihaknya, curah hujan tersebut berperiode di atas 1.000 tahunan. Padahal, infrastruktur drainase didesain berdasarkan hujan berperiode 100 tahunan.
“Jadi bisa dibayangkan betapa dia (hujan ini) jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan atau kapasitas drainase kita, termasuk pompa-pompanya. Nah itu yang terjadi kemarin,” kata Agus.
Ditambah lagi air laut pasang atau rob. Sehingga hujan kemarin menimbulkan banjir di beberapa tempat, walaupun tidak ada banjir dari Puncak atau Bogor.
“Drainase sebetulnya didesain berdasarkan hujan 100 tahunan. Nah yang kemarin itu, terjadi hujan ekstrem yang periodenya 1.000 tahun. Kayak gempa,” kata Agus.
Gelombang dingin dari Siberia juga dinilai sebagai pemicu terjadinya hujan dan banjir di Jakarta pada 9 Februari.
Menurut Kabid Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan UPT Hujan Buatan BPPT Tri Handoko Seto, gelombang dingin dari Siberia telah bergerak ke bagian barat Jawa sehingga menimbulkan peristiwa meteorologis yang disebut cold surge (gelombang dingin).
"Cold surge yaitu berupa masuknya massa udara dingin dari Siberia menuju Jawa bagian barat," kata Tri Handoko di Jakarta, Senin (9/2/2015).
Gelombang dingin yang masuk ke wilayah Jawa bagian barat ini, kemudian bertemu angin yang bertiup dari timur lalu terjadi konvergensi sehingga terbentuk awan-awan hujan yang cukup massif.
Kondisi inilah yang kemudian memicu terjadinya hujan dengan intensitas tinggi. "Curah hujan selama 24 jam terjadi hampir terus-menerus dengan jumlah tercatat di beberapa lokasi sekitar 100 mm, tentu bukanlah curah hujan yang sedikit," tandas Tri Handoko seperti dikutip Antara.
Selanjutnya: Blusukan Digital Ala Ahok...
Advertisement
Blusukan Digital Ala Ahok
Blusukan Digital Ala Ahok
"Ngapain gua blusukan langsung? Pencitraan saja. Buang-buang waktu." Kalimat itu terlontar dari mulut Ahok menyoal tentang banjir di Ibukota.
Tiga hari sebelumnya, tepatnya Senin 9 Februari 2015, banjir turut menggenangi Balaikota Jakarta usai hujan deras melanda. Basuki yang sehari-hari disapa 'Ahok' itu pun geram.
Pompa air di Waduk Pluit tak berfungsi. Akibatnya, air tak dapat dibuang ke laut dan melimpas ke daerah sekitarnya. 97 kelurahan tergenang air, 5.986 warga terpaksa mengungsi.
Menurut staf dan pengawal pribadi Ahok, pria kelahiran Belitung Timur itu sama sekali tak mengecek langsung ke Waduk Pluit.
Lalu bagaimana Ahok mengetahui pompa air Waduk Pluit tak bisa beroperasi?
Sembari membetulkan letak kacamatanya, Ahok sibuk mengutak atik smartphone-nya. Ia lalu membuka sebuah aplikasi bernama Milestone. Kemudian jari telunjuk sang Gubernur menekan tulisan 'DPU DKI'.
Muncul lah sederet gambar yang tersusun 2 baris. Di bawah masing-masing gambar tertulis keterangan yang menunjukkan bahwa yang tampak itu adalah gambar dari CCTV seluruh rumah pompa di Jakarta.
"Gua tinggal buka di handphone ini, bisa langsung lihat daerah mana yang banjir. Langsung ngecek pompa air," sambung dia.
Ia kemudian memperlihatkan kepada liputan6.com bagaimana dia memantau setiap pompa air juga pintu air. "Kamu lihat ini Istiqlal," ucap Ahok sambil menekan gambar CCTV bertuliskan Pintu Air Istiqlal. Tiba-tiba gambarnya berganti dan tampak meteran air. "Ini gambarnya berubah tiap beberapa detik. Lihat langsung mengarah ke meteran. Saya bisa cek ketinggian air."
Gambar selanjutnya yang ditunjukkan Ahok adalah pompa air di Pasar Ikan, Jakarta Utara. Ada 6 pompa air dalam gambar tersebut. Namun terlihat jelas hanya 1 pompa di bagian ujung kanan yang beroperasi mengalirkan air ke laut.
Mantan Bupati Belitung Timut itu menjelaskan, seluruh CCTV di tiap rumah pompa juga pintu air di Jakarta bisa ia pantau hanya melalui smartphone di genggamannya. Maka itu lah, dia langsung tahu pompa air Waduk Pluit tak berfungsi ketika Senin 9 Februari, Jakarta dilanda banjir.
Suami Veronica Tan yang semula duduk di meja kerjanya itu lalu meletakkan telepon genggamnya di meja dan menuju ke depan sebuah televisi layar datar berukuran 42 inci tepat di sebelah kiri meja kerjanya. Salah seorang stafnya, Fahmi, dengan sigap mengetik sesuatu di keyboard. Tak lama, muncul lah laman PetaJakarta.org.
Di situ terlihat peta Jakarta yang beberapa wilayahnya ada yang berwarna kuning muda dan tua, lengkap dengan titik-titik biru. Ahok menjelaskan, semakin tua indikator warna suatu wilayah berarti banyak laporan banjir.
Tampak di peta pada bagian Jakarta Utara indikatornya berwarna merah, lalu di Jakarta Barat berwarna oranye, sementara di Jakarta Selatan dan Timur berwarna kuning tua. Hanya Jakarta Pusat yang berwarna kuning pucat.
Titik-titik biru itu adalah kicauan beserta foto dari warga mengenai kondisi dan lokasi banjir melalui twitter yang terekam di petajakarta.org.
Tak hanya peta, Ahok juga mengaku bisa melihat analisis data banjir di Jakarta dari diagram banjir yang ada di laman tersebut. Daerah mana saja yang yang paling banyak laporan banjirnya, juga ditampilkan setiap kicauan warga tentang banjir.
"Jadi kalau ada yang ngetwit kata banjir, itu langsung direkam terus dicatat dan dilaporkan. Terus dikonfirmasi. Nah warga yang lapor harus aktifkan GeoLocation-nya. Jadi bisa langsung kerekam titik banjirnya," jelas Ahok.
Memantau CCTV pompa air dan pintu air dengan smartphone serta mengecek laporan warga tentang kondisi banjir, membuat Ahok merasa tak perlu setiap hari turun langsung ke lapangan atau blusukan. Sebab ia juga memiliki banyak pekerjaan dan agenda lainnya.
Dengan teknologi, Ahok mengatakan bisa bekerja secara multitasking atau layaknya peribahasa 'sambil menyelam minum air'. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, ia selalu menyempatkan mengecek CCTV dari smartphonenya. Begitu juga di sela-sela agenda rapat, Ahok memantau laporan warga juga pompa air.
Seperti yang ia lakukan siang itu, Rabu 11 Februari 2015. Ditemani gemericik air dari kolam ikan di sebelah ruang kerjanya, Ahok membuka satu per satu gambar CCTV pompa air.
Sesekali ia melihat-lihat laporan warga dari petajakarta.org. Usai mengecek pengaduan warga dan CCTV secara digital, apabila ada masalah dirinya akan langsung menghubungi dinas terkait untuk menangani laporan tersebut.
"Perlu nggak blusukan? Perlu. Kalau lagi (hadiri) kawinan warga atau apa, sekalian. Supaya kita kebayang di lapangan dan di TV itu kira-kira seperti apa. Kalau saya keliling ini semua mana bisa? Kan kita nggak bisa tahu benar atau nggak laporan orang. Staf kita kerja atau nggak. Jadi harus tetap datang (turun ke lapangan) cek sekali-sekali," kata Ahok.
Tak melulu tentang banjir, Ahok juga bisa tahu jika ada jalanan macet, PKL di pinggiran jalan, pengemis, sampah dan sebagainya dengan satu lagi aplikasi pengaduan warga yakni Qlue.
Jika petajakarta.org hanya khusus untuk laporan banjir, dengan Qlue warga bisa melaporkan segala hal.
Saat tengah memantau Qlue, di layar TV muncul laporan warga yang mengunduh foto PKL (pedagang kaki lima) dan penyewaan motorcross mini di kawasan Monas. Dahi Ahok pun berkerut.
Dia langsung menjepret laporan di layar TV itu kemudian mengirimkannya kepada Kepala UP Monas Rini Hariani melalui aplikasi Whatsapp. "Bu, PKL Monas dan motor-motoran mulai marak lagi. Jangan dikasih kesempatan," tulis Ahok.
Nah, itu lah yang masih menjadi kendala, menurut mantan Bupati Belitung Timur itu. Aparat pemerintah khususnya Lurah dan Camat belum terbiasa dengan teknologi ini. Sehingga Ahok masih harus mengingatkan kepada mereka secara manual.
Misalnya, ada pompa air yang tak berfungsi atau ada laporan warga soal banjir, Ahok harus meng-capture lebih dulu gambar pompa air lalu mengirimkannya kepada Kepala Dinas atau Lurah dan Camat. Padahal seharusnya, seluruh laporan dari Qlue itu langsung bisa diketahui oleh aparat Pemprov DKI melalui aplikasi khusus Cepat Respon Opini Publik atau CROP.
"Ini karena lurah camat kita belum terbiasa. Saya aja kadang suka bingung. Tapi sekarang memang lagi sosialisasi. Kita akan bikin control room. Sekalian buat pelatihan juga," kata Ahok.
"Oke ya. Saya mau ke Istana. Ketemu pak Presiden. Mau rapat koordinasi soal banjir," imbuhnya mengakhiri tur 'blusukan digital ala Ahok'.
Lain Ahok, lain dengan wakilnya Djarot Saiful Hidayat. Wakil Gubernur DKI Jakarta itu turun menyusuri Sungai Ciliwung pascabanjir yang melanda Jakarta, Rabu 11 Februari 2015.
Ditemani Pangdam Jaya Mayjen TNI Agus Sutomo, prajurit TNI, dan pejabat teras Pemprov DKI Jakarta, Djarot meninjau Sungai Ciliwung. Pemprov DKI Jakarta bersama Kodam Jaya memang sudah bekerja sama membersihkan sungai dari tumpukan sampah.
Namun, hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya membuat sungai kembali meluap. Sampah yang berada di hulu juga kembali menumpuk dan tersangkut di beberapa titik.
Dalam satu perahu karet milik Kopassus itu tak hanya diisi mereka berdua. Terlihat, Walikota Jakarta Timur Bambang Musyawardana, Walikota Jakarta Selatan Syamsudin Noor, dan Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Agus Priyono juga mendampingi.
Sepanjang perjalanan, mereka tampak asyik berbincang. Sesekali Djarot menunjuk satu lokasi kepada Syamsudin atau Bambang. Djarot meminta penjelasan dan menanggapi komentar sang pimpinan wilayah itu.
Agus pun memberi penjabaran tentang apa yang telah dilakukan selama 2 bulan lebih prajuritnya membersihkan Sungai Ciliwung.
Rombongan lalu tiba di kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri yang terkenal selalu terendam saat sungai Ciliwung meluap. Beberapa lokasi terlihat masih ada sampah yang tersangkut di dahan dan pondasi kayu dari rumah milik warga.
Djarot pun terlihat kembali berbincang hangat dengan Agus. Kemudian, memberikan arahan kepada Bambang dan Syamsudin. Kala itu, lokasi memang tidak tergenang banjir tinggi. Hanya tinggal 30cm-100 cm ketinggian air yang menggenangi rumah warga.
Hampir 3 jam, perahu akhirnya sampai di pintu air Manggarai. Di sana sudah menunggu satu perahu buatan dari drum-drum. Fungsinya sebagai pelabuhan mini. (Ein)