Andai `Unbroken` Rilis Tiga Puluh Tahun Lalu…

Apa yang membuat Unbroken tak masuk radar Oscar tahun ini maupun hanya merebut hati setengah dari kritikus film?

oleh Ade Irwansyah diperbarui 17 Feb 2015, 08:00 WIB
Adegan film Unbroken. (dok. Universal Pictures)

Liputan6.com, Jakarta Lewat film keduanya, Unbroken, Angelina Jolie membuktikan bahwa keterampilannya sebagai sutradara tak kalah dari sutradara pria.

Coba tonton Unbroken yang kini sedang tayang di bioskop. Dan lupakan sejenak kalau film itu dibuat oleh Jolie, istri Brad Pitt yang merupakan seleb Hollywoood paling tenar sejagat itu. Film epik berlatar Perang Dunia II itu bisa saja dibuat Steven Spielberg, Clint Eastwood, Richard Attenborough, atau bahkan David Lean.

Artinya, dari segi production value, Unbroken yang dihasilkan Jolie sudah sekelas dengan The Bridge of River Kwai-nya David Lean, Gandhi-nya Richard Attenborough, Empire of the Sun-nya Steven Spielberg, ataupun Flags of Our Fathers-nya Clint Eastwood.

Foto dok. Liputan6.com

Saya ingat ketika pertama kali nonton trailer Unbroken dan membaca bagaimana media AS menanggapi rilis trailer tersebut. Saya mengutip pujian selangit Huffington Post atas trailer Unbroken tersebut:

"Dikatakan Huffington Post, Kamis (10/7/2014), Unbroken punya semua syarat untuk disukai juri-juri Oscar: cerita yang diangkat dari kisah nyata masa lalu, kisah drama peperangan, memiliki nilai inspiratif (tentang bagaimana tetap bertahan hidup sebagai tawanan di tengah kamp tentara Jepang), maupun diangkat dari buku bernilai sastra (berdasar buku yang ditulis Laura Hillenbrand), tata musik megah oleh Alexandre Desplat dan skenario yang ditulis Coen bersaudara (yang menulis ulang draft milik William Nicholson dan Richard LaGravenese)."

Tak lupa juga saya selipkan opini sendiri usai nonton trailer-nya: "… (M)elihat trailernya, filmnya tampak indah—tak kalah dari film-film perang maupun drama kisah masa lalu yang sudah menang Oscar mulai dari Saving Private Ryan sampai The King's Speech."

Media di AS pun punya rasa penasaran yang sama dan menduga Unbroken bakal sehebat film-film yang sudah saya sebut di atas. Filmnya disebut-sebut bakal menggondol banyak nominasi Oscar. 

Namun, setelah akhirnya filmnya rilis tepat di hari Natal kemarin, banyak kritikus yang kecewa. Unbroken ternyata tak seperti yang mereka harapkan.

Skor akhir film ini di Rotten Tomatoes adalah 51 persen yang artinya suara yang suka dan tak suka terbelah. Sedang di ajang Oscar tahun ini, Unbroken tak masuk hitungan kategori utama (Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktor Terbaik, ataupun Skenario Terbaik) dan hanya dapat tiga nominasi bidang teknis (Sound Mixing Terbaik, Sound Editing Terbaik, dan Sinematografi Terbaik).

Maka, pertanyaan yang layak diajukan adalah, apa yang membuat Unbroken tak masuk radar Oscar tahun ini maupun hanya merebut hati setengah dari kritikus film yang menonton filmnya?

Foto dok. Liputan6.com

***

Pertanyaan itulah yang saya ingin tahu jawabnya ketika hendak menonton Unbroken. Pertanyaan begitu harus dicari jawabnya sendiri. Tak bisa dengan membaca ulasan-ulasan filmnya di media asing.

Dan hasilnya, seperti yang saya bilang di awal tulisan ini, Angelina Jolie punya kemampuan yang tak kalah dari Clint Eastwood atau Steven Spielberg. Setelah In the Land of Blood and Honey (2011) yang mengangkat kepedihan Perang Bosnia sebagai debutnya jadi sutradara, Jolie tak ingin memilih jalan mudah bikin film kacangan atau skala indie. Filmnya harus megah, kolosal. Sebuah period drama, sebutan bagi film yang berkisah tentang masa lalu, yang membutuhkan keterampilan serta kejelian khusus saat membuatnya.

Dengan production value seperti yang kita saksikan di bioskop, andai Unbroken rilis kira-kira tiga puluh tahun lalu, filmnya mungkin sekali bisa jadi legendaris seperti Empire of the Sun (1987) yang juga berlatar Perang Dunia II.

Tapi dunia sudah berubah banyak sejak 1980-an lampau. Sekadar menyuguhkan film yang punya production value atau muatan kisah selevel dengan Empire of the Sun ternyata tak cukup.

Seperti Empire of the Sun, Unbroken juga diangkat dari kisah nyata. Angelina Jolie mengangkat kisah hidup Louie Zamperini (di film diperankan bintang anyar Jack O’Connell dengan amat baik), bekas pelari olimpiade yang ikut perang sebagai pembom tapi lalu jadi tawanan Jepang.

Dari sudut penceritaan, fokus Jolie pada cobaan hidup dan penderitaan yang dialami Zamperini bertubi-tubi. Saat kecil ia jadi korban bully teman sebaya. Sang kakak mengetahui bakatnya sebagai pelari. Keahlian itu membawanya ke Olimpiade 1936 di Jerman. Saat perang, pesawat yang dikendarainya jatuh ke laut.

Selama puluhan hari Zamperini terombang-ambing di laut hingga akhirnya ditangkap Jepang. Saat jadi tawanan, Zamperini jadi bulan-bulanan opsir muda Watanabe (diperankan bintang J-rock, Miyavi).

Foto dok. Liputan6.com


Sepanjang film, `Unbroken` menyajikan petuah selayaknya mantra yang membuat Louie Zamperini bisa bertahan hidup: "Jika kau bisa tahan, kau akan berhasil" atau juga "Melewati perang sampai akhir… itulah pembalasan kita" serta berbagai kata-kata mutiara lain soal bertahan hidup.

***

Nah, fokus cerita begitu menjadikan Zamperini bak sosok yang sangat sempurna. Kita merasa kasihan padanya, dan begitu kagum pada cobaan dan penderitaan hidupnya. Jolie juga ingin memberi pesan agar kita mencontoh keteguhan dan daya tahan Zamperini.

Untuk hal itu, pesan yang ingin disuguhkan Jolie dipastikan sampai ke benak penonton. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, relevankah pesan tersebut bagi masyarakat saat ini?

Bagi saya, pesan tersebut terasa telat tiga puluh tahun. Steven Spielberg sudah menyampaikan pesan itu lewat Empire of the Sun. Jika dibanding film-film unggulan Oscar lain tahun ini yang juga berupa period drama macam The Imitation Game, Selma, ataupun The Theory of Everything, film Unbroken-nya Jolie terasa terlalu "soft".

The Imitation Game menyuguhkan penderitaan seorang yang begitu berjasa bagi sebuah bangsa direndahkan lantaran orientasi seksualnya berbeda dengan kebanyakan orang; The Theory of Everything menyajikan daya tahan sebuah cinta di antara suami-istri di tengah cobaan hidup karena penyakit; sedang Selma memberi wacana tambahan di tengah hangatnya konflik kulit hitam-kulit putih di Amerika kiwari.

Dari buku darimana kisahnya berasal, Zamperini sebenarnya punya sisi lain yang bila diangkat ke film, sebetulnya bakal menambah bobot kisahnya bukan sekadar sosok yang sempurna. Di buku biografinya, Zamperini jadi pecandu alkohol tapi kemudian berhasil tobat.

Foto dok. Liputan6.com

***

Bagaimanapun Angelina Jolie sudah menentukan pilihan sudut pandang filmnya. Ia mengenalkan kita pada seorang pahlawan yang mampu bertahan hidup dan menjadi pemenang. Ia meminta kita meneladani daya tahan Louie Zamperini.

Lewat dua film yang sudah dibuatnya, Jolie punya bakat mumpuni membuat film-film besar. Ia diuntungkan oleh nama besarnya, hingga studio Hollywood akan dengan gampang mempercayakan modal baginya. Kita tinggal menunggu karya besarnya berikutnya.

Sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang, mungkin sekali Angelina Jolie jadi sutradara besar selevel Steven Spielberg atau Clint Eastwood. Ya, mungkin sekali.*** (Ade/Mer)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya