Liputan6.com, Jakarta Sekadar duduk di Lobby Longue Shangri La Hotel, Jakarta, sudah cukup membawa otak untuk “berjalan-jalan ke mana-mana”. Di sana suasananya calm. Bertepatan dengan hari Valentine dan berdekatan dengan perayaan Imlek, tiang-tiang super besar di ruang itu berbalut mawar merah dan pada langit-langitnya tergantung lampion-lampion berwarna senada. Sabtu sore (14/2/2015), sekitar pukul 15.00 sinar matahari menembus dinding kaca besar yang memberi pemandangan kolam renang. Para tamu peluncuran label Todjo, yakni second line dari desainer Sapto Djojokartiko mulai menempati sofa-sofa dan saling berbincang.
Sambil menikmati suguhan hotel berupa lantunan lagu-lagu jazz berirama slow dan buffet cake & pastry bertajuk 52nd Cake Street – nama sebuah jalan di New York City yang dikenal sebagai pusat jazz 1930an-1950an dan diambil sebagai judul album studio ke-6 dari penyanyi Billy Joel – pikiran menarik mundur diri ke masa sekitar 1 tahun silam. Saat di mana Sapto diwawancara menjelang persiapan shownya di Fashion Nation Senayan City tahun 2014. “Masalahnya adalah bahwa kreatifitas bisa berdampak pada biaya produksi yang tinggi, baik itu terkait bahan, teknik jahit, dan lain sebagainya,” ucap Sapto kala itu mengenai tantangan bisnis ready-to-wear.
Advertisement
Butuh kreativitas tersendiri untuk bisa “mengakali” ide-ide desain yang menawan untuk diwujudkan sebagai affordable fashion. Dan Todjo adalah bukti bahwa kreativitas Sapto sudah selangkah lebih maju. Koleksi perdana dari Todjo akan diproduksi sebanyak 300 pieces dan bisa didapat di 3 department stores, yakni Sogo, Metro, dan Lotte. Untuk koleksi perdana dari Todjo, ada 24 looks autumn-winter 2015 yang disuguhkan oleh sang desainer. Dengan long dress hitam, Sari Nila selaku MC menghantarkan para tamu untuk menikmati presentasi rancangan-rancangan Todjo yang tersedia dalam ukuran 36-42 dan akan bisa didapat di department stores pada Maret 2015.
Dengan pulasan bibir warna gelap, para model berjalan menyusuri seluk beluk longue yang diisi oleh sofa-sofa tempat para tamu duduk melihat peragaan busana ini. Garis-garis desain Sapto yang sleek bisa dilihat dalam koleksi ini namun satu rasa baru yang muncul dalam line Todjo adalah statement minimalistik yang lebih kuat. Kali ini pernyataan minimalistik itu hadir dengan hembusan nafas klasik dari penggunaan bahan lace, tulle, dan chiffon, yang sebagiannya memiliki royal motif. Bentuk-bentuk busana ala eropa dengan aksen-aksen seperti ruffle juga mengaksentuasi pendaran keklasikan itu.
Meski minimalistik, koleksi Todjo ini tak tampil “polos”. Designer touch adalah apa yang membuat busana-busana ready-to-wear Todjo menjadi spesial. Contohnya adalah efek desain overlay dress yang hadir secara kuat dengan penggabungan 2 bahan yang berbeda atau juga ukuran maupun warna yang berbeda. Lapisan bagian luar yang sheer berpadu dengan lapisan dalamnya yang lebih matte dalam rancangan-rancangan bersentuhan klasik itu menciptakan nuansa feminitas nan seductive namun tetap gracious. Modern belt pada karya-karya ini menjadi elemen kekinian bagi koleksi Todjo itu.
Bicara soal moderenitas, beberapa busana label ini punya desain moderen yang lebih nyata. Sebut saja looks dengan bagian celana yang bersiluet palazzo. Bagian atasnya didesain berkerah bundar dan tanpa lengan, busana-busana ini tampak sangat cocok untuk para wanita urban berjiwa mobile dan moderen dengan selera yang sedikit chic. Busana-busana seukuran di bawah lutut baik yang berlengan ataupun tanpa lengan juga memiliki nuansa moderen yang cukup jelas terasa. Rangkaian looks ini punya sisi feminin yang lebih menonjol. Bentuk bagian bawahnya yang menyerupai bentuk pemakaian kain secara tradisional – sehingga tampak seperti belahan – memberi percikan eksotis pada busana-busana itu.
`A` line longdress bermodel halter ataupun yang dilapis dengan outerwear berikatpinggang memancarkan keanggunan yang lebih kental. Karya-karya ini sesuai untuk dipakai pada acara-acara spesial tapi juga bukan yang terlalu “berat”. Secara umum mengenai koleksi Todjo ini adalah bahwa ia merupakan line ready-to-wear yang tetap membawa DNA dari Sapto Djojokartiko. DNA yang juga terdapat pada first line-nya, namun mewujud secara lebih humble. “Ini adalah jawaban bahwa Sapto juga mampu mendesain busana-busana yang harganya affordable tapi dengan tetap memiliki essence Sapto,” ucap sang desainer setelah show berlangsung.
Pada koleksi first line Sapto Djojokartiko, misalnya pada Poseido, Penara, dan yang terinspirasi dari sosok femme fatale Mata Hari, memang terasa intensitas high-design dari seorang Sapto. Namun perlu disadari bahwa tak semua keperluan atau acara harus diisi dengan busana-busana high-design seperti itu. Todjo adalah pengisi keperluan-keperluan yang lain tersebut. Jawaban praktis bagi para wanita urban yang memerlukan busana ready-to-wear dengan kualitas fashion designer, khususnya yang merepresentasikan wanita Sapto Djojokartiko: independent, confident, seductive yet graceful.
(Fotografer: Panji Diksana - Liputan6.com)