PNS Sering Rapat di Hotel, Negara Boros Rp 5,1 Triliun

Setelah dua bulan sejak terbitnya Surat Edaran Menteri mengenai larangan rapat di hotel, ada sejumlah peningkatan dalam efisiensi anggaran.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 17 Feb 2015, 18:30 WIB
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi menegasakan aturan pembatasan rapat di luar kantor bagi PNS karena masih maraknya penyalahgunaan anggaran negara.

Bahkan, berdasarkan catatan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah terjadi penyalahgunaan anggaran mencapai 30 persen. Total pemborosan dari rapat di hotel-hotel tersebut mencapai hingga Rp 5,122 triliun.

"Tidak hanya itu, ada banyak laporan dari manajer-manajer perhotelan mengenai pola pembukuan yang berganda," terang dia di Jakarta, Selasa (17/2/2015).

Dia mencontohkan, jika peserta rapat yang hadir sebenarnya hanya 50 orang, namun yang tertulis dalam pembukuan menjadi 100 orang. Selain itu, jika harga satu kamar hanya Rp 450 ribu maka akan di-mark up menjadi Rp 600 ribu.

"Kadang-kadang manajer-manajer itu melaporkan pada kami betapa repotnya mengurus PNS-PNS ini. Ini berlangsung cukup lama dan negara dirugikan akibat inefisensi tersebut," kata Yuddy.

Yuddy mengatakan, setelah dua bulan sejak terbitnya Surat Edaran Menteri mengenai larangan rapat di hotel, ada sejumlah peningkatan dalam efisiensi anggaran.

Diantaranya 61 Kementerian/Lembaga bisa menghemat sekitar Rp 4,2 triliun, 8 Pemerintah Provinsi sekitar Rp 471 miliar, 61 Pemerintah Kabupaten sekitar Rp 290 miliar dan 14 Pemerintah Kota sekitar Rp 91 miliar.   

Yuddy mengatakan, dalam konteks revolusi mental, Presiden RI menginginkan terjadi perubahan cara berpikir, bertindak dan berperilaku para aparatur sipil negara. Menurutnya, Presiden menginginkan di akhir era periode pertama Kabinet Kerja, Indonesia bisa menjadi negara dengan tata kelola pemerintahan berkelas dunia.

"Kita tidak mungkin berkelas dunia jika kerja birokrasi kita lambat, mempersulit pelaku ekonomi, tembang pilih, dan tidak transparan. Harus ada perubahan pola pikir dari birokrasi yang selama ini priyayi menjadi birokrat-birokrat yang memberikan pelayanan dan responsif terhadap masyarakat," kata Yuddy. (Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya