Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus terdepresiasi hingga menyentuh angka Rp 12.800. Namun level rupiah di kisaran Rp 12.000 membuat eksportir merasa nyaman sehingga turut menggenjot ekspor Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengungkapkan, nilai tukar rupiah melemah lebih kecil dibanding mata uang regional lain, seperti Yen Jepang, Won Korea terhadap dolar AS.
Advertisement
"Kondisi rupiah di kisaran Rp 12.000-an bikin eksportir nyaman. Jadi masyarakat jangan mengharapkan rupiah balik Rp 10.000 karena tidak bagus buat ekspor kita. Era mata uang Rp 10.000 sudah lewat," jelas dia di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (18/2/2015).
Namun Sofyan menampik jika ada anggapan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sengaja melemahkan nilai tukar rupiah supaya ekspor terdorong naik.
Dari catatan BI, defisit transaksi berjalan pada kuartal IV 2014 mencapai US$ 6,2 miliar atau 2,81 persen dari PDB. Angka itu menurun dari kuartal sebelumnya yang terealisasi US$ 7 miliar atau 2,99 perden dari PDB.
Ekspor non migas pada 2013 sebesar US$ 15,5 miliar dan meningkat menjadi US$ 18,7 miliar pada tahun lalu. Ekspor manufaktur bertumbuh 7 persen sepanjang 2014 sehingga menaikkan cadangan devisa Indonesia pada bulan pertama tahun ini menjadi US$ 114,2 miliar.
"Pelemahan rupiah karena faktor importing situation. Barang-barang impor akan terpengaruh, tapi selama kita memperbaiki masalah ekonomi domestik, saya pikir dampaknya ada tapi bisa dikontrol," jelas Sofyan.
Data valuta asing Bloomberg, hari ini menunjukkan nilai tukar rupiah melemah di kisaran 12.704 - 12.818 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Tak lama setelah dibuka menguat di level 12.704 per dolar AS, nilai tukar rupiah langsung melemah signifikan ke level 12.811 per dolar AS.
Rupiah tercatat melemah 0,29 persen di level 12.799 per dolar AS pada perdagangan pukul 9:44 waktu Jakarta. Sementara itu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat nilai tukar rupiah melemah ke level 12.804 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova menjelaskan, faktor domestik menunjukkan nilai tukar rupiah melemah setelah Bank Indonesia (BI) mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunganya sebesar 0,25 persen.
"BI menurunkan suku bunga, imbal hasil pada para pelaku pasar menjadi ikut turun dan akhirnya membuat rupiah melemah. Ini sifatnya sementara, hanya gejala sesaat," terang Rully saat berbincang dengan Liputan6.com.
Sebenarnya, kata dia, dalam jangka menengah dan panjang, penurunan BI rate justru berdampak positif untuk stimulus pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan daya beli masyarakat. Tapi dari segi para pelaku pasar, khususnya asing, ini bukan kabar baik. (Fik/Ahm)